Setelah perjumpaan yang singkat dan memanjang, aku dan Ellena merekat dalam chating-an. Sesekali ketemu, kadang di Café ..
Dua minggu lagi, Ellena akan sidang skripsi. Ia sibuk bulak-balik ke kampus untuk ngurus persyaratan sidang dan lainnya. Aku sibuk di Kabar Kampus.Com. Media tempat aku bekerja dan menimba ilmu, sesekali juga ke kampus Ellena untuk menawarkan kerja sama advertising atau program webinar.
Setelah dekat hampir 1 bulan, aku memutuskan untuk ungkap-mengungkap soal tumbuh kembang binar didalam dada. Namun sayang, Ellena tak secepat aku.
Ia kadung bercampur trauma, setelah lelaki yang dicintainya berlaku tak mengenakan hati. Ia menyimpan banyak luka yang mendalam, tak sempat disembuhkan, fokusnya ke skripsi untuk segera lulus kuliah.
Seminggu sebelum tanggal 25 Maret 2020, aku memotret beliau dari samping diam-diam. Lurus dengan telinganya, akurasi gampa dari samping yang cukup sempurna untuk menjadi bahan siluet.
Tahun baru 2015 aku menikmatinya di Jogjakarta bersama teman kost. Dibilangan Malioboro aku bertemu dengan pengrajin foto siluet. Cukup 5 menit saja, foto itu langsung jadi. Hanya 25ribu saja kala itu.
Siluet itu menjadi semangatku untuk belajar, membuat gambar siluet dari karton hitam beralaskan karton putih, berfigura hitam.
Lima hari sebelum tanggal 25 Maret, aku pergi ke tempat Foto Copyan membeli karton hitam dan putih. Setalah itu kembali ke Asrama, mulailah membuat siluet Ellena, walau tak begitu rapih. Ku pastikan itu suratan tangan, berenergi rasa, kekuatan Tuhan, penguasa semesta.
Jadilah siluet itu, ukurannya A4, sengaja. Itu disesuaikan dengan figura yang ada di kamarku. Sesekali aku pernah memberi materi Latihan Kepemimpinan 1 di Kumala Perwakilan Bandung. Masih bagus, sayang kalau cuman dipajang.
Ditempelkannya suliet, bergambar Ellena, lekuk wajah dengan hidung yang ga mancung-mancung amat, lebih ke Ouval bentuk mukanya.
21 Maret, aku menulis puisi di hp ku, puisinya panjang lebar, judulnya nanti aku kasih tau di bagian akhir buku ini.
Setelah jadi puisi itu, aku kembali ke tukang Foto copyan di jalan Tamansari Bandung, terdapat dua kampus di sana, Unisba dan Unpas. Aku membeli kertas A4 berwarna kuning, kesannya biar jadul.
Sekepulangan aku dari rumah ke Bandung, aku membawa jejak pengabdian Bapaku berupa mesin TIK, mesin yang diproduksi sejak Tahun 1962, dan mulai rajin digunakan oleh Bapaku sejak 1993. Kondisinya mengkhawatirkan, berkarat, tak bisa digunakan.
Walau berat, aku tetap membawa mesin TIK itu ke Bandung. Dengan jarak tempuh memakan waktu 6-7 jam aku tetap tabah menyimpan mesin Tik dibagian depan motor Matic-ku.
Sesampainya di Bandung, aku langsung ke Braga. Di sana masih ada bengkel mesin Tik. Aku service mesin Tik warisan Bapa, sepenggal napas hidup yang berkepanjangan.
Berselang dua hari, aku kembali ke Bengkel mesin Tik itu. Alhamdulilah mesin Tik warisan Bapa sudah selesai, dan bisa digunakan.
Mesin Tik itu aku gunakan sesekali untuk melatih fokus dalam menulis. Aku senang menulis, walau tak begitu bagus tulisannya, tetapi senang saja menulis.
Mesin Tik ini yang aku gunakan untuk menulis puisi yang aku buat untuk Ellena, kalian bisa membayangkan. Tiap kali salah ketik, aku harus mengganti kertas. Belum lagi memastikan spasi tiap baris, sungguh menguras kesabaran.
Akhirnya puisi itu tumpah dikertas berwarna kuning ke jadul-jadulan. Aku simpan di lemari baju plastik khas anak rantau.
25 Maret 2020, Ellena sidang skripsi. Aku tidak bisa membayangkan, anak pertama dari perempuan tangguh yang mengurusnya sampai menyandang gelar sarjana.
Aku berkata tidak bisa hadir ke kampusnya, untuk memberi bunga atau cindera mata yang lain.
Aku menggulung kertas berpuisi itu, mengikatnya tali rajut bekas baju baru. Ku masukan sehelai bunga mawar warna merah, lambang kejantanan ku. Merah merona ..
Aku simpan ke dalam totebag bersama dengan frame bersiluet wajah Ellena. Dan menitipkannya lewat Gojek, gojek itu ke kantin, mengghampiri Ellena, dan memberikan titipan dari ku. Siluet, Puisi, dan bunga mawar.
Aku membayang ia dan teman-temannya membuka titipan dari kang Gojek itu. Katanya sih berkaca-kaca pas baca puisinya ..
Ellena tak bisa membayangkan, diabad 21 masih ada laki-laki kurang modal seperti membuat siluet dengan tangan sendiri, dan menulis pusisi dengan mesin Tik.
Itulah estetik, aku ingin menjadi laki-laki beda dari yang lain, aku tak bisa membelikannya jam tangan mewah, tas mewah, atau sepatu mewah.
Bagiku, cinta tak bisa diukur dengan hitungan angka rupiah. Lebih dalam dari pada itu …
Selain aku tak punya uang, bukan berarti aku tak bisa memberikan apa-apa. Usaha dengan segala kemampuan yang bisa, lagi pula kebagaiaan itu cukup murah.
Aku hanya bermodal:
Karton : 4 ribu
Bunga Mawar : 10 ribu
Biaya Gojek : 15 ribu
Cukup 29ribu, Ellena tumpah-setumpah-tumpahnya didekapku. Tanggal ini menjadi kesepakatan sebagai sepasang kekasih yang berbahagia.
Hari demi hari kita jalani, lebaran idul adha 2020 aku tidak pulang kampung. Karena mengejar tesis yang harus segera selesai.
Sejak malam takbiran Idul Adha, aku berkunjung ke rumah Ellena, kali pertama aku berjumpa dengan Ibu Ellena. Dari pertama aku bertemu, aku sudah memanggilnya dengan Mama, biar lebih akrab haha bukan Ibu apalagi Tante, sengaja. Agar ia tersudut, tersipu seperti bicara dengan calon mertua yang soleh ini haha
Sekira pukul 10 malam, aku pulang dan berpamitan pulang pada Ibu Ellena. Rumahnya dekat Cimahi, Kawasan tekstil, lumayan jauh dari Asrama tempat tinggalku.
Jalanan itu cukup hening, maklum Bandung rada pinggiran. hanya temaram lampu jalanan silih berganti.
Hening malam memberi isyarat, sejak dulu aku berbagi kasih dengan perempuan, hanya kali itu sejujurnya bertemu dengan orang tua perempuan. Apalagi usiaku menjelang rawan nikah muda, bab ini juga yang membantu keheningan malam itu.
Penulis adalah Adipati Kahlila Deba (Kolumnis Suara Sanggabuana)