(ruang dimana segala aksi direncanakan untuk kepentingan hidup bersama warga Kampung)
Gardu telah mewarnai sejarah bangsa Indonesia, bangunan berukuran (rata-rata) 4×4 meter ini banyak dijumpai di Indonesia. Mulai dari perkotaan, sampai dengan pelosok pedesaan. Karenanya, gardu penting dibicarakan atau diulas kembali sebagai sebuah refleksi jelajah gardu dimasa lalu hingga sekarang. Kehadiran Gardu, telah memberi banyak manfaat sosial bagi warga, sebagai sentral komunikasi keamanan Kampung, ruang bertutur (bergabi cerita/ngawangkong), ruang dimana segala aksi direncanakan untuk kepentingan hidup bersama warga Kampung. Kebiasaan ini mendorong warga untuk saling berbicara tentang fenomena sosial yang terjadi sehari-hari. Mengamankan kampung misalnya, untuk menangkal aksi kriminalitas seperti pencurian, peredaran narkoba, masalah pertanian dan lainnya.
Berjalannya waktu, saya semakin yakin kalau Gardu akan mengalami sepi pengunjung. Semisal begini, saya membayangkan ketika warga di perkotaan besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Yang bekerja mulai dari jam 08.00 pagi, sampai dengan jam 16.00. Warga harus berangkat dari rumah pada pagi hari, menembus segala kemacetan dan hiruk-pikuk Ibu Kota, dan sampai di rumah ‘kemungkinan’ pada malam hari. Muka sudah lesu, cape, tugas kantor yang numpuk, belum persoalan cicilan rumah, biaya pendidikan anak, salon istri, biaya motor dan lain-lain. Artinya, pada saat itu pula tidak ada waktu untuk sekedar ngobrol dengan tetangga, atau menghabiskan waktu di Gardu dengan warga lainnya.
Di perkampungan, Gardu masih menjadi tempat yang diminati untuk menghabiskan waktu pasca beraktivitas siang hari. Kehidupan di kampung jauh berbeda dengan di kota. Tidak mengenal macet, sehingga perjalanan tidak menghabiskan banyak energi, dan malamnya masih bisa berkomunikasi dengan warga atau tetangga.
Lanjut, kemajuan teknologi sudah tidak dapat diragukan lagi, banyak kerja manusia yang sudah digantungkan pada kecanggihan teknologi, atau bermain gadget untuk mengganti kegiatan hiburan seperti gapleh, main remi, krambol di Gardu. Hal ini sudah merangsak masuk di wilayah perkampungan.
Keamanan lingkungan bukan saja tanggungjawab pihak keamanan seperti polisi, TNI, dan lain-lain, akan tetapi tanggung jawab bersama warga. Persoalan keamanan, Gardu telah dilengkapi dengan sistem android. Seperti yang ditemukan di RT 23 RW 07 Kelurahan Sekardangan, Kecamatan Sidoarjo. Warga kampung ini membuat inovasi dengan menerapkan sistem Android sederhana dalam memantau keamanan lingkungan yang diberi nama Sistem Keamanan Warga (SIKARA). Cara kerja dari sistem ini juga sangat canggih, tidak kalah dengan sistem keamanan sebuah Negara, di mana setiap sudut perkampungan di lengkapi dengan CCTV, sehingga semua warga dapat memantau secara langsung, dan jika terjadi hal-hal yang dicurigai, maka warga akan menekan tombol Panic Button untuk memberitahukan pada yang lain (Suparno, 2018).
Tetapi apakah mungkin sistem ini dapat diterapkan di perkampungan yang jauh dari jangkauan signal telekomunikasi?, Saya rasa tidak. Nah, di perkampungan tanda bahaya ini ditandai dengan sebilah bambu atau kayu, yang ketika di pukul akan bersuara tung…tung. Hal ini bisa menandakan dua hal, pertama, bahwa masih ada warga yang melakukan ronda. Kedua, bahwa ada tanda bahaya atau panic button. Kalau mau dikuliti lebih dalam lagi, lebih dulu kentongan atau sistem android? Kentongan lebih dulu, jadi sistem android yang mengikuti cara kerja kentongan. Serupa tanda, bahwa daur ulang pengetahuan masuk pada sendi yang kadang luput dari perhatian.
Gardu Dalam Lintas Zaman
Kedatangan VOC telah mengubah fungsi gardu. Perebutan hegemoni VOC atas kerajaan tradisional membuat kuasa kerajaan berangsur melemah. VOC mempersempit kuasa keraton dengan membagi wilayah koloninya secara administratif. Batas-batas administratif desa dan kampung menjadi lebih jelas. Sebagai penegasnya, VOC mendirikan gardu jaga di tiap kampung dan desa. Daendels membagi Jawa menjadi sejumlah Karesidenan untuk mempermudah pengawasan pembangunan Jalan Raya. Dia memerintahkan pembangunan Gardu pada setiap interval tertentu untuk menjaga keamanan pembangunan. Serampungnya pembangunan, Gardu itu berkembang menjadi tempat ganti kuda bagi musafir di sepanjang jalur tersebut (Hanggoro, 2019).
Penggunaan Gardu sangat fleksibel tiap zamannya, Belanda, Jepang, dan Orde Baru memanfaatkan fungsi dari pos ronda. Jaman Jepang misalnya, Gardu berhasil dimanfaatkan oleh jepang untuk kepentingan mengatur warganya. Hal ini dilakukan dengan membentuk keibonan atau barisan pembantu polisi yaitu warga setempat. Jepang hanya mampu mengambil alih Gardu kurang lebih 3,5 tahun, dan berhasil direbut oleh warga saat mendukung proklamasi 17 Agustus 1945. Dan Gardu milik warga, sekaligus menjadi posko perlawanan warga atas berbagai upaya masuknya tentara Jepang dan sekutu. Lain di jaman orde baru, Gardu digunakan sebagai pos pengamatan untuk warganya sendiri (Hanggoro, 2019).
Gardu telah banyak mewarnai sejarah kehidupan panjang bangsa Indonesia. Seperti yang sudah dibahas diatas, mulai dari perebutan Gardu oleh pemerintah kolonial Belanda, oleh Jepang, juga orde baru. Ada perebutan kekuasaan atas Gardu disana. Hak warga, kolonial Belanda, Jepang, Orde baru, berebut kuasa atas Gardu.
Gardu Sebagai Ruang Politik Warga
(Mathew, 2014), Harwood mengatakan bahwa melihat orang dapat berkumpul dan bekerja bersama-sama juga merupakan tujuan dari politik. Dalam hal ini, ketika gardu dijadikan sebagai medium dialog untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang nyata dalam kehidupan masyarakat, itu berarti gardu telah menjadi ruang politik di tataran akar rumput. Penguatan ruang di akar rumput juga akan membantu keutuhan demokrasi, warga sudah terbiasa dengan berbagai dialog dan menyuarakan harapan terhadap tatanan sosial yang berkeadilan.
Gardu, ditengah kehidupan dunia yang semakin pelik. Gardu yang masih digunakan oleh banyak masyarakat Indonesia sebagai ruang pertemuan kiranya dapat berkontribusi pada keutuhan gotong royong yang sudah sejak dulu menjadi ruh bagi setiap urusan yang menerpa bangsa Indonesia.
Selain itu, Gardu disinyalir pernah membidani lahirnya sebuah organisasi yang besar, yaitu Sarekat Islam (SI), lahir dari kelompok ronda yang mengamankan sutau wilayah di Solo. Rekso Roemekso, adalah laskar keamanan yang beranggotakan mayoritas pedagang batik asal Laweyan, Solo. Tugas utama perkumpulan ini adalah menjaga keamanan di kawasan sentra produksi batik itu. Namun, Rekso Roemekso juga mengemban misi yang jauh lebih penting ketimbang sekadar perkumpulan ronda. Samanhoedi sengaja membentuk organisasi itu untuk melawan dominasi para pedagang keturunan Tionghoa di Solo yang bernaung pula di perhimpunan serupa bernama Kong Sing, hingga pada akhirnya Rekso Roemakso menjadi Sarekat Islam sebuah organisasi massa yang melawan kolonial (Raditya, 2017 ).
Begitu banyak peran gardu dalam sejarah bangsa Indonesia. Pelik situasi politik telah menyeretnya jauh melampaui luas bangunannya. Gardu tak boleh menjadi bangunan yang tak berfungsi apa-apa, bahkan dirasa gardu akan membawa masyarakat aktif melakukan dialog atas segala persoalan yang terjadi di kehidupan masyarakat. Karenanya, gardu harus terus diaktivasi sebagai ruang demokrasi di akar rumput.
Penulis : Try Adhi Bangsawan
Referensi :
Hanggoro, H. T. (2019). Melihat Indonesia Melalui Pos Ronda. Jakarta: Historia.id.
Mathew, D. (2014). Ekologi Demokrasi: Demokrasi Deliberatif dan kekuatan Warga. Jakarta : PARA Syndicate.
Raditya, I. N. (2017 ). Rekso Roemekso, Ormas Keamanan Menjelma Sarekat Islam. Jakarta : tirto.id.
Suparno. (2018). Poskamling Zaman Now, Warga Ronda Bareng Pakai Android. Jawa Timut: detik.com.