Penulis : Ali Al-Fatih
Tak banyak yang menyinggung, bahwa, Penjajahan yang berlangsung di Indonesia dan belahan bumi lainnya, sebenarnya rangkaian agenda masuknya modal untuk memperbesar modal. Kendati, ditafsirkan pada berbagai asumsi, nyata-nyata babak awal penjajahan di Nusantara kala itu, dipelopori oleh VOC, sebuah perusahaan dagang asing. Kala itu, perang dibutuhkan sebab akses penguasaan terhadap sebuah Bangsa degan segala yang hidup di dalamnya, secara utuh, hanya dapat dicapai dengan cara kekerasan. Alasan dibalik semua itu, adalah “Modal” dan keberlangsungan bisnis penjajah.
Pada babak selanjutnya, setelah melalui peperangan demi peperangan, setelah bangsa-bangsa berubah dan terpecah-pecah menjadi Negara-negara, penguasaan terhadap suatu wilayah dapat dijalankan melalui regulasi. Melalui cara senyap dengan dalih investasi atau istilah lainnya. Modalnya berputar, penguasaannya berlangsung, tanpa harus saling membunuh secara langsung. “Kemerdekaan juga tidak membebaskan kebudayaan dari tegangan antara kebebasan berkreasi dan kepentingan politik maupun bisnis” (Karlina Supelli, 2013).
Tentu dalam soal investasi, penuh pro-kontra. Namun, hakikat dibalik investasi adalah “Modal”, yang proses akumulasinya menggilas kebudayaan, ekologi dan aspek sosial-ekologi lainnya. Sejak, sebelum kemerdekaan hingga hari ini, belum ada catatan mentereng mengenai masuknya “Modal” dengan penjajahan, investasi atau istilah lainnya. Belum ada pertukaran yang sepadan, apalagi adil, terutama di Indonesia. Kita tetap “… berhadapan dengan persekongkolan untuk memperebutkan apa saja yang bisa dijarah dari negeri ini” (Karlina Supelli, 2013).
Terlepas, dari hal-hal di atas, investasi, menjadi sebuah istilah yang mampu mereduksi makna kesejahteraan – pertumbuhan ekonomi, berpaling dari makna yang sesungguhnya. Seolah-olah, investasi adalah jalan satu-satunya untuk mewujudkan kesejahteraan, menjadi mantra yang sering dituturkan. Latah!
Refleksi Mengenai Investasi di Kabupaten Lebak
Investasi, awal dari penguasaan-penguasaan terhadap sumber-sumber kehidupan dan pembatasan-pembatasan yang berlangsung di dalamnya. Dia datang tidak kodrati, alami seperti hujan. Dia datang bersama “modus” yang digetok paksa kedalam isi kepala suatu masyarakat, melalui ruang-ruang akademik, media lainnya bahkan mitos-mitos. Seperti halnya, mitos “Kota Bungsu” yang hidup dalam masyarakat Lebak, ditunggangi berbagai agenda investasi tanpa ‘reaksi berarti’ dari masyarakat. Contoh, berdirinya PT. Cemindo di bibir pantai Bayah dan perusahaan tambang lainnya, Perumahan Citra Maja, dan investasi berbagai bidang lainnya.
Investasi-investasi yang berlangsung di Kabupaten Lebak, mengawali penguasaan-penguasaan terhadap lahan dan suber-suber kehidupan – sumber penghidupan yang berada di dalamnya. Seperti Tanah, Mata Air, Sungai, Laut dan Udara. Juga pada aspek lainnya, seperti ; bibir pantai tempat dimana dahulu menjadi tempat melihat senja tenggelam, suasana ketenangan dalam berkendara di jalan raya, lahan lapang yang dahulu tempat bocah-bocah bermain bola dan masih banyak yang lainnya. Investasi, tidak ada bedanya dengan “kolonialisme” dimasa lalu, bedanya hanya dari cara dan mekanisme yang berlangsung di dalamnya.
Hal di atas, selanjutnya, melahirkan ketimpangan, sejak dari ketimpangan kepemilikan sumber-sumber kehidupan (tanah dll), hingga ketimpangan terhadap hak terhadap akses sumber-sumber penghidupan (jalur sungai, jalur laut dll), dengan pembatasan atau dengan pencemaran. Sehingga, menyebabkan kemiskinan.

Foto : Potret Jembatan di Pulomanuk, Tahun 2000
Kemiskinan, umumnya, bukan disebabkan karena kurangnya sekolah-sekolah, pesantern-pesantren bahkan kurangnya pasilitas peribadatan (masjid-gereja). Dia lahir, akibat, hilangnya kepemilikan terhadap lahan dan sumber-sumber kehidupan lainnya. Juga, terputusnya akses terhadap sumber-sumber penghidupan, seperti yang dialami oleh penangkap Impun dan Nelayan di Selatan Lebak. Pun juga, kemiskinan tidak dapat diukur dari seberapa bagus jembatan penghubung antar Kampung.
Referens :
Karlina Supelli, 2013. “KEBUDAYAAN DAN KEGAGAPAN KITA”