Konon nama Dago, telah ada sejak zaman Belanda. Kebiasaan warga Bandung Utara saling menunggu (sunda: silih dagoan) untuk menuju ke kota. Kala itu, dago masih semak blukar, Bandung tak seramai dan terang benderang seperti sekarang.
Di Dago kita menghabiskan malam dengan ngobrol santai, duduk berdampingan di kursi yang berukuran 1×1,5 meter. Kursinya empuk sekali, walau ngobrol sampai larut, pantat ku tak sedikit pun pegal ..
Sekira pukul 2 malam, aku ijin untuk membeli pulsa. Sebab, mentor ku yang di Bandung musti ontime soal waktu, aku tak punya waktu untuk membiarkan nomor ku tanpa pulsa.
Setelah membeli pulsa, aku menelpon balik mentorku. Bertanya kenapa, seperti soal organisasi, soal keanggotaan dan lain sebagainya.
Beliau yang mengajari ku banyak hal, mulai dari ketuhanan sampai dengan dunia gerakan, bahkan sampai dengan bahan bacaan .. semua aku lahap dengan pasrah. B,liau selalu berpesan
“bahwa kuda-kuda hidup itu belajar, dan kuda-kuda belajar adalah pasrah, tanpa itu semua, hidup akan berjalan biasa saja, dan belajar tak akan kau dapati pertumbuhan”
Itu pesan yang hari ini masih aku dengar, bahkan diterapkan pada beberapa teman-teman yang ingin belajar bersama-sama.
Walau pada saat menulis ini, aku sudah lama tidak berkomunikasi. Ada beberapa soal yang sedang aku siapkan sendiri, aku ingin terlepas dari bayang-bayang siapapun, Ibu, Bapak, Sodara, dan Mentorku.
Aku selalu menganggap bahwa hidup adalah soal kesendirian. Tak ada yang paling mengerti, selain diri sendiri. Dan tak ada yang paling bahagia selain bertemu dengan diri sendiri.
Selepas dari Dago, aku mengantar Ellena ke Kiara Condong, Nama Jalannya Kebaktian, tidak jauh dari Stasiun Kiara Condong, tempat Kang Bahar shooting Preman Pensiun.
Memasuki jalan berkelok, tibalah aku di rumah kos-kosan 2 lantai berwarna putih. Lantai 1 diisi oleh pemilik kamar kost dan keluarganya, dan lantai 2 diisi oleh banyak perempuan rantau yang tinggal di sana. Mulai dari mahasiswa sampai dengan karyawati.
Sesampai di sana, kita sempat berfoto, lalu Video Call (VC) dengan Inspektur. Inspektur, dengan rautnya wajahnya yang khas, Ia terkejut seketika melihat aku dan Ellena bertemu kembali setelah sekian lama.
Ia berpesan pada Ellena, awas hati-hati.
Waktu itu, aku mengenakan kemeja kotak-kotak merah. Sepatu Converse, Ellena mengenakan baju hitam, bahannya sedikit tipis, celananya jeans biru, bawahnya dilipat, khas anak zaman sekarang.
Setelah turun tangga, kurang lebih ada 30 anak tangga. Kami turun lagi ke parkiran motor, aku mengantarkan Ia ke Cimahi, ke Rumah Ibu. Ibu adalah sepupu dari Ellena, rumahnya tidak jauh dari pemakaman umum, 10 meter sebelum sampai ke rumahnya, aku melewati makam warga sekitar. Memang seram, disamping Ellena aku tak boleh terlihat sebagai penakut, apalagi dia tau aku dari Banten. Jiwa kelaki-lakian ku tak boleh luntur ..
Sesampainya di rumah Ibu, membuka gerbang besi dengan tinggi 2 meter, lantai keramik bercorak. Halaman selebar 10 x 10 meter cukup untuk 2 mobil dan 3 motor kepunyaan Ibu. Di teras depan terdapat 4 kursi 1 meja, dan sofa sepanjang 1 meter.
Aku memilih duduk di sofa karena empuk, kita mengobrol sebentar. Hening malam bertekuk lutut dibawah gemericik perut yang mulai keroncongan.
Ellena bergegas ke dapur membuat Indomie kuah, cocok disantap malam itu. Ellena tak tau, kalau aku tidak suka nasi.
Ibu adalah perempuan hampir menua, tetapi ia menolak tua. Tampilannya tetap gaul dan trendi, anaknya hampir seumur dengan ku. Ibu penyuka kucing, kurang lebih ada 10 ekor kucing di rumahnya. Lalu-lalang selama aku menyantap Indomie Kuah buatan Ellena ..
Setelah menyantap Mie, aku bergegas untuk pulang ke Asrama di Jl. Cihampelas, tempat di mana aku belajar banyak hal.
Penulis adalah Adipati Kahlila Deba (Kolumnis Suara Sanggabuana)