Oleh: Ressy Rizki Utari
Pemandangan seseorang memandangi gawai dengan saraf-saraf tubuh yang tampak menegang kini mudah kita jumpai. Mata melotot seolah ada yang tak ingin ia lewatkan. Bahkan ada juga yang tak bisa beranjak dari kegiatan ini hingga lupa makan dan tidur. Jika kita tilik lebih dekat, anda akan melihat gambar warna warni dengan sesekali muncul kilatan dan efek ledakan di gawainya.
Kata umpatan seperti “Anjing lah!” akan mulai terdengar di akhir sesi permainan. Namun seperti tidak jera, Ia terus mengulangi siklus yang sama. Menunggu dewa keberuntungan memihaknya. Sayangnya segala hal yang dianggap keberuntungan dalam permainan ini hanyalah ilusi. Hingga muncul pepatah“kemenangan penjudi adalah berhenti berjudi.”
Menurut Stanley Khu, seorang antropolog lulusan Universitas Padjajaran dalam artikelnya “Agama Finansial dan Moralitas Cacing Pita dalam Kapitalisme Zombi, jika dalam ilmu probabilitas beberapa fakta akan meyakinkan kita akan memberikan kemenangan namun kita juga tahu jika itu tidak selamanya. “Di jangka panjang, hanya individu-individu bermodal besar dan para spekulan yang akan selalu menangguk keuntungan,”tulisnya dalam artikel tersebut.
Menurutnya era finansialisasi membuat orang gemar meramal dan menjadikannya sebagai standar nilai; sehingga fenomena seperti bubble dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Stanley dalam artikelnya menyebutkan bahwa Karl Popper saja butuh waktu lama untuk meyakinkan dirinya bahwa ilmu probabilitas layak digolongkan ke dalam disiplin ilmu matematika. Resolusinya adalah sebagai berikut: bahwa probabilitas tak bisa dijerat dengan teknik falsifikasi karena ia hanya membuat kepastian dan ketepatan perhitungan tentang kecenderungan yang akan terjadi di jangka panjang. Jadi, bila kita melempar satu koin dan terdapat kemungkinan 50/50 untuk keluarnya gambar dan angka, hal ini tidaklah menyiratkan bahwa tiap dua kali lemparan akan menghasilkan masing-masing sekali gambar dan sekali angka. Bisa saja kita melempar lima kali dan mendapati bahwa yang keluar terus-menerus adalah angka. Namun hal tersebut, menurut Popper, tak akan memfalsifikasi probabilitas karena ilmu ini memang tak berniat menyatakan kepastian untuk jangka waktu saat ini.
Namun teori jelimet ini agaknya sulit untuk diterima. Karena, fakta seperti seorang ayah pada, Selasa (07/01/25) bunuh diri setelah membunuh anak dan istrinya karena terjerat judi dan pinjaman online tidak membuat penjudi sadar. Mereka terusi berharap dewa zeus memberi uang dadakan ke hidup mereka.
Menurut buku Online Gambling and Crime,Ilusi kontrol dan candu adrenalin menjadi dua alasan judi online lebih berbahaya dari judi konvensional. Hal ini terjadi karena ketiadaan pengalaman fisik. Hingga persepsi pemain tentang waktu dan uang menjadi kabur.
Riset keduanya Diaz Perez mengatakan jika perilaku dan pikiran penjudi online telah sakit. Mereka kerap terjebak dalam keputusan serampangan dan hutang. Lebih jauh banyak dari mereka mengarah pada perilaku alkoholik dan kekerasan.
Penyakit ini sangat terpengaruh dari kondisi sosial dan kesehatan dari masing-masing penjudi. Namun banyak dari mereka yang mudah terjangkit merupakan lelaki muda, miskin, berpendidikan rendah dan berpola kehidupan tidak sehat.
Seperti yang diceritakan oleh Kidung, banyak dari temannya terjerat hutang karena Judol. “Banyak yang menggunakan Judi Online untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka akhirnya kecanduan,” ungkap Kidung saat diwawancarai secara daring pada Minggu (02/02/25).
Namun juga tidak sedikit judi online telah membuat banyak orang yang tengah berada dalam kehidupan yang baik justru menarik mereka pada banyak kesulitan. Seperti yang terjadi pada Jacob (26) mantan pegawai kantor pajak daerah. diceritakan dalam reportase Project Multatuli jika Ia dulu cukup sejahtera, sebelum terjerat judi online. Kecanduannya pada judol membuatnya terasing dari lingkungan, terlilit utang dan kerap dilanda kecemasan sepanjang hari.
Menurut catatan Pemerintah, perilaku ini telah menyerang sekitar 3,2 juta orang di Indonesia. Sebanyak 80 ribu diantaranya berusia dibawah 10 tahun dan 440 ribu lainnya berusia antara 10-20 tahun. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) mencatat jika di tahun 2024 saja transaksi judi online mencapai lebih dari 600T dalam kuartal pertama.
Lebih buruk, korban judol juga kerap memiliki hubungan erat dengan pinjol. Siklus permainan judi biasanya memberi kemenangan 2-3 kali. Namun kekalahan justru menggempur lebih sering. Kemudian pinjol dengan gencar memberikan tawaran uang untuk deposit. Ini kemudian menjadi lingkaran setan yang sulit diputus.