(Hawu bukan hanya sebagai unit penting dalam kehidupan panjang masyarakat adat. Namun, unit penting dalam menjaga keberlangsungan ruang hidup suatu komunitas dan inti ressistensi suatu komunitas masyarakat dalam dunia yang terus berubah-ubah)
Pembuka
“Dalam kebudayaan tradisional, teknologi merupakan upaya manusia untuk mencapai keseimbangan dengan alam. Ketika keseimbangan tercapai, masyarakat pengguna akan menganggap teknologi sudah memenuhi fungsinya”.
Karlena Supelli, 2013 (Dalam Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki).
Hawu, merupakan alat masak tradisional. Bentuknya bermacam-macam. Ada yang terbuat dari susunan bogkahan batu, cetakan batu, tanah liat dan banyak lagi ragamnya. Dalam bahasa Sunda, Hawu memiliki arti Tungku tradisional. Tungku ini, memiliki istilah yang beragam di nusantara. Pada masa lalu, Hawu merupakan alat penting bagi Orang-orang di Kampung. Hari ini, keberadaannya kian terpinggirkan, tergeser oleh Tungku yang lebih canggih, hasil karya pabrikan, oleh Kompor biasa (minyak), Kompor Gas, Kompor Listrik, bahkan alat masak lain seperti Magic Jar dan Magic Com. Kondisi ini, dianggap baik-baik saja, terlebih dalam konteks zaman “Modern”. Namun, dalam selubung zaman “Moderen”, ada yang berubah begitu dahsyat, mendalam, dengan terhempasnya Hawu dari kehidupan harian kita.
Di Banten Selatan, di Kawasan Sanggabuana, terdapat sejumlah kelompok besar masyarakat yang masih menjadikan Hawu sebagai alat (Teknologi) masak utama dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok masyarakat ini, akrab disebut dengan Masyarakat Adat Banten Kidul, komunitasnya tinggal di kaki Pegunungan Sanggabuana (Halimun Salak). Pada masyarakat di titik-titik tertentu, terutama masyarakat pesisir, yang simbol adatnya cendrung hilang (tak nampak), Hawu sudah tergantikan dengan tungku yang lebih canggih. Keberadaan Hawu, hanya terdapat disebagian kecil Rumah-rumah warga.
Hawu Penggambaran Semesta

(Foto Dapur (Tata Hawu) Imah Geude Kasepuhan Cipta Gelar, 19 Februari 2023)
Tata Hawu di Dapur Imah Geude Kasepuhan Cipta Gelar, menggambarkan situasi alam Gunung, Pegunungan. Hal itu terlihat dari istilah atau nama-nama dalam Tata Hawu. Bagian bawah, terdapat “Parako”, dimana Hawu diletakan diatasnya, merupakan penggambaran dari Kaki Gunung. Kemudian, “Hawu” yang menyala dengan alat masak diatasnya (seeng) adalah Tubuh Gunung. Api yang menyala pada saat proses memasak, merupakan gambaran Magma yang berada di dalam Tubuh Gunung. Lalu, di atasnya terdapat “Paparaan”, yang menjadi penggambaran dari susunan Awan. Selanjutnya, di atas, “Paparaan”, terdapat “Lalangitan” (langit-langit Rumah), merupakan penggambaran dari Langit.
Hal di atas, merupakan penggambaran yang muncul dari asumsi sepihak. Namun, asumsi sepihak ini, bukan lahir dari bisikan Setan atau Wangsit. Penggambaran ini, lahir dari kondisi (benda) Tata Hawu di Dapur “Imah Geude” Kasepuhan Cipta Gelar, yang mencerminkan situasi alam Gunung atau alam Pegunungan. Apakah ini kebudayaan?
Hawu dan Keberlangsungan Ruang Hidup
Sekilas tak ada yang hebat dari sebuah Hawu, tungku tradisiona itu, yang dianggap tidak lebih hebat dari Kompor listrik yang mutahir itu, katanya.
Di Dapur “Imah Geude” Kasepuha-kasepuhan, Khususnya Kasepuhan Cipta Gelar, Hawu hampir tidak pernah padam sepanjang waktu. Setiap hari, Hawu disana, menyala untuk kebutuhan energi memasak segala kebutuhan seisi “Imah Geude”, sejak sesepuh, warga kasepuhan hingga tamu yang berkunjung. Agar Hawu tetap menyala, beberapa warga kasepuhan, menyediakan potongan kayu yang didapat dari hutan dibelakan perkampungan. Kebutuhan bahan kunci lainnya, seperti Air, tersedia pada Bak-bak air di Dapur, yang airnya dialirkan pada selang dari mata Air pegunungan di belakang Rumah. Hal ini, ditunjang oleh sistem kerja Kasepuhan, yang telah diatur dan teratur. Sehingga, aktivitas harian Dapur Kasepuhan Cipta Gelar semacam ini, terus berlangsung sejak dahulu hingga saat ini
Yang penting dalam hal di atas, dari banyak hal penting lainnya yakni, dengan menjaga Hawu tetap menyala, Kasepuhan Cipta Gelar, secara otomatis turut menjaga keberlangsungan kondisi Pegunungan Sanggabuana. Sebab, keberlangsungan Dapur “Imah Geude” Kasepuhan Cipta Gelar, hanya dapat ditunjang dengan tersedianya batu untuk tungku, kayu untuk bahan bakar dan air untuk bahan kunci memasak. Singkatnya, Dapur “Imah Geude” Kasepuhan Cipta Gelar, hanya bisa bertahan, jika kondisi gunung-gunung disekitarnya tetap terjaga atau dalam kondisi baik.
Secara tidak langsung, demi kepentingan hidup komunitas kecilnya, Kasepuhan Cipta Gelar, tengah berjasa besar dalam menjaga keberlangsungan Sungai-sungai yang mengalir dari kawasan Pegunung Sanggabuana ke wilayah hilir. Dengan demikian, Sungai-sungai tersebut terus mengalirkan air dan dapat menunjang kehidupan Orang-orang disekitarnya di wilayah hilir. Lebih dari itu, Kasepuhan Cipta Gelar, telah menjaga keberlangsungan-keberlangsungan sumber kehidupan lainnya selain hanya sebatas Sungai. Kendati hanya Sungai, sudah sangatlah besar jasanya. Sebab, dengan mengalirnya Sungai ke wilayah hilir, penangkap Impun dapat menghidupi keluarganya dengan hasil tangkapan Impunnya.
Jika, kita mau masuk lebih dalam lagi, apakah memang, sejatinya kasepuhan-kasepuan yang tinggal di wilayah pegunungan Kawasan Sanggabuana, khususnya Kasepuhan Cipta Gelar, dalam tatanan masyarakat Banten Selatan, memiliki tugas sebagai penjaga wilayah pegunungan di wilayah Banten Selatan?
Dalam kehidupan masyarakat Kasepuhan Banten Selatan (Kidul), dalam menjaga keberlangsungan Ruang Hidupnya, terdapat aturan-aturan yang cendrung dipandang “Falsafah” untuk menata Ruang Hidupnya, salah satunya Kasepuhan Cipta Gelar. Seperti istilah yang sering kita dengar, yaitu; “Leuweung Tutupan, Titipan, Garapan”.*** (akan kami bahas pada pembahasan berikutnya)
Singkatnya, istilah di atas, sering kali dianggap semata-mata “falsafah” saja. Istilah ini, sering kalai dijadikan topeng untuk menutupi kebobrokan hidup. Atau, dijadikan lipstik sebagian orang Banten Selatan yang gandrung akan romansa masalalu. Istilah di atas, tidak pernah dianggap sebagai hal penting, temuan kebudayaan yang seharusnya diletakan di tengah-tengah perkembangan Ilmu pengetahuan, ditelusuri, diuji, selanjutnya diperaktekan. Atau, kalau memang praktek dari istilah di atas, yang dilakukan oleh sekelompok orang terbukti mapan dalam keberlangsungan Ruang Hidup, minimalnya dibenarkan.
Kemudian Hawu, jika memang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Karlina Supelli pada kutipan pembuka. Mengapa tidak kita jadikan agenda politik hari ini, yang jelas-jelas segala obrolan politis kita hari ini, tidak berkutik sedikitpun di tengah kondisi Ruang Hidup kita yang semakin krisis. Hawu, mampu memproduksi asap (haseup) organik, yang penting dalam keberlangsungan lapisan Ozon. Mengapa obrolan politis kita hari ini, asyik membicarakan soal “Karbon”, yang istilahnya tidak dalam Cakrawala Orang-orang Kasepuhan atau Orang Kampung. Jika ada makna Kolektivitas dalam Demokrasi, mengapa kita pilih istilah yang tidak dimengerti secara Kolektif? Dimana sisi Demokratisnya? Memilih kata yang lebih Demokratis saja kita tidak sudi. Dalam obrolan saja, kita cendrung menganggap orang-orang Kampung tidak memiliki daya fikir. Artinya, menganggap Orang kasepuhan atau Orang Kampung, tidak penting dalam proses Demokrasi. Kalau, Demikrasi terkucil pada persoalan pemilu semata (atau hal praktis lainnya), wajar jika semua Partai terpincang dan tertatih.
Kalau kita merasa lebih akademik dari Orang-orang Kampung, letakan Orang Kampung di tengah-tengah perdebatan Ilmu pengetahuan. Membahas Hawu, tidak akan menurunkan kadar keilmuan. Tidak akan menurunkan kadar kesalehan dan kesuperioran lainnya.
Penulis : Ali Al-Fatih
Referensi :
Karlina Supelli, 2013. “KEBUDAYAAN DAN KEGAGAPAN KITA”. Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta.