Cerita :
“Jika di Cipurun, Panggarangan – Lebak, ada Ali – Sarniti, di Bayah – Lebak, ada Santarip, di Sukasari, Panggarangan – Lebak, ada Mak Enjun, yang merupakan Orang termiskin di Kampungnya. Di Cihara, ada Khotib, yang hari-harinya menggantungkan hidup pada Sungai dan Laut, menangkap “Impun” (ikan jenis : ghobi amphidromous), Lobster dan Sidat. Sebuah cerita hidup Orang Kampung yang nyata.”
Hidup Harian
Khotib merupakan salah satu Penangkap Impun tetap, di Sungai Cihara. Rumahnya berada di salah satu Kampung di Desa Cihara. Tepatnya, di Kampung Cicatang. Bersama Istri dan satu Puterinya, Khotib tinggal di sebuah Gubuk panggung, di pinggir Sungai Cicatang, yang merupakan salah satu Anak Sungai Cihara. Sebuah Sungai yang dahulu wilayah hulunya dilindungi oleh orang Cicatang.

Foto sungai cihara, musim impun pertengahan Tahun 2023 : Parung Dahu, tempat biasa Khotib memasang Buwu – menangkap Impun
Keseharian Khotib, hidup antara Rumah, Sungai Cihara dan Laut. Setiap pagi, Khotib selalu pergi ke Sungai Cihara, untuk memeriksa pancing atau “Teuger” yang dia pasang setiap sore hari, menjelang Maghrib. “Teuger,” memang bukan merupakan aktivitas harian Khotib yang biasa dia andalkan untuk memberi makan Istri dan anaknya. Sebagai, mata pencaharian sampingan, selain Impun dan Lobster. Jika sedang beruntung, penghasilannya dari hasil tangkapan “teuger” cukup lumayan. Sebab, selain Impun, di Sungai Cihara juga bisa dijumpai jenis ikan lainnya, Sidat misalnya. Ikan ini, merupakan jenis ikan yang Khotib incar dengan “Teugernya”, ketika musim Impun belum tiba.
Pada tahun 2019, Kotib sempat mendapatkan Sidat dengan panjang 1 meter lebih dan berat sekitar 5 Kg, dari “Teugernya”. Sidat tersebut, dia jual dengan harga Rp.1.500.000. pendapatan ini, merupakan pendapatan terakhir Khotib yang cukup lumayan dari “Teuger”, setelah Tambang Pasir Kuarsa beroprasi disekitaran Sungai Cihara. Sebelum Tambang Pasir Kuarsa beroprasi, Khotib cukup sering mendapatkan Sidat dari “Teugernya”. Hinga hari ini, belum ada lagi Sidat yang terjerat oleh “Teuger” Khotib. Terakhir kali Khotib memasang “Teuger” di Sungai Cihara, pada tanggal 30 Juni 2023, sore kemarin.
Biasanya, selepas Khotib memeriksa “Teuger”, dia melanjutkan rutinitasnya dengan memungut kelapa disekitaran Sungai Cihara, sekitar Parungdahu dan Parungkalam, atau kelapa yang kebetulan hanyut di Sungai Cihara. Hal ini, merupakan aktivitas rutin yang Khotib lakukan, terutama jika “Teuger” tidak mendapatkan hasil. Selanjutnya, hasil kelapa Khotib akan dikumpulkan dirumahnya. Selambat-lambatnya, setiap seminggu Khotib menjual kelapanya kepada penampung. Aktivitas memungut kelapa memang tidak pasti. Namun, pada kenyataannya, Khotib mampu memberi jajan Anaknya untuk jajan di Sekolah, bahkan untuk membeli Rokok. Aktivitas memungut kelapa, hamper selalu Khotib lakukan selepas memeriksa “Teuger” di Sungai Cihara dan setelah memeriksa hasil “Jodang” di Laut, yang sesekali Khotib kerjakan.

Foto : Alat tangkap Lobster Tradisional / Jodang
“Menjodang” – “Jodang”, merupakan kegiatan mengambil Lobster di Laut, secara tradisional. Untuk “Menjodang”, Khotib diberi alat tangkap oleh seorang tengkulak. Kebutuhan konsumsi, seperti Rokok, kopi dan makanan ringan akan ditanggung oleh tengkulak tersebut. Dengan aturan, Khotib harus menjual hasil tangkapan Lobsternya kepada si tengkulak. Untuk “Menjodang”, Khotib akan memasang jala Lobster sore atau malam hari, dengan menggunakan pelampung dari Ban Mobil yang kemudi hilir mudiknya dengan seutas tambang yang diikatkan pada karang. Selanjutnya, jala Lobster akan diangkat pada pagi hari, saat fajar.
Penghasilan Khotib dari “Menjodang” ditentukan oleh pengkelasan harga pasar Lobster, antara “Penjodang” tengkulak kecil sampai tengkulak yang lebih besar di wilayah Binuangeun – Wanasalam. Lobster yang cacat, seperti Lobster yang salah satu kakinya putus atau salah satu belalainya putus tidak akan di beli oleh tengkulak, tidak laku di Pasar Lobster. Belum lagi, pengkelasan harga dari perbedaan jenis Lobster dan ukuran Lobster.
Aktivitas ini, sangat beresiko bagi nyawa Khotib. Penghasilannya, ditentukan oleh kondisi Ombak di Laut. Tak jarang, jala Lobsternya, hilang tersapu oleh arus Laut. Hari ini, “Menjodang” sudah jarang dikerjakan oleh Khotib. Selain karena terlalu beresiko terhadap nyawa dan kesehatannya, penyebab lainnya adalah kondisi laut yang semakin rusak akibat limbah Tambang Pasir Kuarsa yang beberapa tahun kebelakang sempat beroprasi di sekitaran Sungai Cihara. Selain Khotib, ada juga “Penjodang” lainnya. Kini, seiring dengan belum pulihnya kondisi Laut dari pencemaran yang diakibatkan oleh Tambang Pasir Kuarsa, yang tersisa hanya saung-saung “Penjodang”, yang mulai membusuk di bawah pohon pandan, di pinggir sawah, dibeberapa titik pantai Cihara. Disbanding “Menjodang” menangkap impugn lebih menguntungkan bagi Khotib.
Saat ini, Khotib dan beberapa penangkap Impun lainnya sedang menanti kemunculan Impun di Sungai Cihara, tepatnya tanggal 22 Bulan Dzulhijjah kali ini. Biasanya, di hari-hari menunggu Impun naik dari Laut ke hulu Sungai, Khotib akan membenahi “Buwu” di Amben Rumahnya, sore hari atau malam hari. Khusus, untuk “Buwu” yang sudah melapuk, Khotib akan menggantinya dengan “Buwu” yang baru. “Buwu” terbuat dari Lidi Aren. Biasanya, saat ini, sepulang memungut kelapa, Khotib akan membawa pelapah Arena tau mengambil pelapah Aren di pinggir Rumahnya untuk membuat “Buwu” baru.
Dalam menangkap Impun, Khotib memiliki 6 (enam) “Buwu” sekurang-kurangnya. Jumlah ini, sebetulnya bisa bertambah atau ditambah Oleh Khotib. Namun, lokasi pemasangan “Buwu” tidak cukup untuk lebih banyak “Buwu”. Pemasangan “Buwu”, disesuaikan dengan lokasi pemasangan “Buwu” yang dipengaruhi oleh arus dan debit sungai Cihara. Selain itu, terdapat juga beberapa Orang yang memasang “Buwu” di lokasi yang sama. Setiap Orang, memiliki tempat memasang “Buwu” masing-masing. Setiap Orang penangkap Impun, akan memeriksa Sungai Cihara sejak tanggal 20 pada musim impugn, untuk memastikan kehadiran Impun di Sungai Cihara.
Khotib salah seorang warga Cihara yang tidak dapat bantuan dari pemerintah. Tubuh istri dan anaknya, murni, tidak tercemari oleh BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan bantuan lainnya dari pemerintah. Itu lah mengapa, cerita hidup Khotib layak dan pantas diceritakan kepada yang terhormat semua, yang hidupnya tidak “ripuh-ripuh amat”.
Penulis : Ali Al-Fatih, Pertengahan Tahun 2023
Istilah-istilah
Teuger : aktivitas menangkap ikan dengan pancing, yang dibiarkan semalaman
Sirib : Alat tradisional untuk menangkap Ikan Impun, terbuat dari jarring halus
Jodang : aktivitas menangkap udang Lobster di Laut secara tradisional
Buwu : alat tangkap Ikan, yang terbuat dari anyaman lidi
Tolong dong itu saudara yang mulia pemangku kebijakan yang ada diwilayahnya khotib rada ditoel,juga kepada kaula muda yang gemar membaca dengan ribuan buku koleksinya agar sekiranya bisa bersuara membantu khotib,,,jangan diem diem bae
mari sama sama toel a hahaha