Penulis : Suroto – Ketua AKSES ( Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR)
Sistem pertanian kita selama ini, walaupun berkaitan dengan nasib hidup 29,34 juta petani (Susenas Pertanian, 2023) sudah terlalu lama berada dalam penderitaan akibat jerat mafia kartel pangan. Pertanian rakyat, atau pertanian keluarga (family farming) posisinya jadi obyek dan tidak memiliki kuasa tentukan nasib kesejahteraan mereka sendiri.
Petani kecil hanya berada dalam bisnis di lahan (on farm). Mereka lalu dibiarkan terus berkutat dengan persoalan harga. Harga barang inputan seperti sarana produksi pertanian (saprotan) mahal dan disisi lain harga panenan jatuh ketika musim panen tiba.
Saprotan dan pupuk yang mahal sebabnya karena pabrik pupuk, pabrik alat alat pertanian dikuasai oleh pemilik modal besar. Mereka bahkan menguasai sektor bisnis terkait (off farm) seperti pemrosesan dan pemasaran. Bahkan menguasai bisnis pendukungnya (non-farm) seperti keuangan, asuransi, jasa logistik dan lain sebagainya.
Rakyat petani sebagai produsen tidak memiliki kuasa untuk menentukan harga baik barang input untuk budidaya maupun harga panenan. Secara aksiomatik berlalu hukum : apa yang tak kamu miliki itu tak dapat kamu kendalikan. Sehingga petani selalu jadi obyek penderita.
Sektor keuangan yang penting juga tidak memihak kepada kepentingan petani kecil melainkan ke pedagangnya. Sampai saat ini, kredit program subsidi bunga seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) pun realisasinya didominasi usaha perdagangan.
Ketika musim tanam petani terbebani oleh mahalnya harga pupuk dan bibit. Subsidi malahan lebih banyak menguntungkan para makelar program.
Dengan sistem pertanian dan kebijakan seperti itu maka sampai kapanpun nasib petani tentu tidak akan pernah berubah. Mereka posisinya di dalam sistem hanyalah sebagai obyek. Baik obyek kebijakan yang tidak berpihak pada petani juga sebagai obyek permainan mafia kartel.
Solusi yang ditawarkan juga selalu tidak pernah menyentuh persoalan mendasar untuk merombak nasib petani agar lebih sejahtera. Sebut saja misalnya program korporatisasi petani, atau subsidi benih dan pupuk, serta subsidi bunga dalam kebijakan kredit program yang dibuat pemerintah.
Perubahan Sistem
Melihat kondisi tersebut maka yang diperlukan sesungguhnya adalah perombakan sistem pertanian. Petani yang berada di sektor on farm musti diintegrasikan dengan bisnis terkait budidaya off farm dan bahkan bisnis pendukung non-farm.
Dengan konsep tersebut maka harga inputan maupun harga panen tidak lagi jadi masalah. Sebab logikanya, ketika semua entitas bisnis di sektor on farm dan off farm itu berada dalam kuasa para petani, maka nilai tambah apapun yang dihasilkan akan kembali ke petani.
Pendapatan petani tidak lagi ditentukan oleh harga pasar hasil panenan. Tidak lagi ditentukan oleh tengkulak atau pemilik pabrik yang selama ini lebih banyak mengeruk untung dan membuat petani terpuruk.
Petani petani keluarga atau petani kecil itu harus didorong untuk menjadi pemilik bisnis dari pabrik pupuk dan saprotan hingga pemrosesanya. Mereka musti didorong berhimpun dalam satu koperasi. Koperasi milik petani yang dikendalikan secara demokratis dengan hak pengambilan keputusan satu orang satu suara.
Di perusahaan koperasi itulah yang didorong untuk mencetak nilai tambah ekonomi. Lalu dikembalikan nilai tambahnya ke petani sesuai dengan besarnya partisipasi atau kontribusi mereka. Di dalam sistem koperasi yang berlaku secara internasiomal dan merupakan keunggulan sistem koperasi dibandingkan korporasi ini disebut sebagai sistem divvy, mereka yang berkontribusi lebih besar mendapat bagian lebih besar.
Memulai
Untuk memulainya, kita dapat belajar dari India. Negara yang jumlah penduduknya 5 kali lipat dari negara kita dan menjadi konsumen beras ternyata mampu menciptakan surplus dan melakukan eksport ke negara lain dan masalah suplai dan harga pupuk tidak menjadi masalah bagi petani.
Hal tersebut dapat terjadi karena pabrik pupuk itu memang dimiliki dan dikuasai oleh petani secara drmokratis melalui koperasi. Mereka dirikan satu koperasi untuk petani rakyat dengan nama IFFCO ( Indian Farmer Fertilizer Cooperative). Jadi jumlah suplai dan harga pupuk itu ditentukan oleh petani di koperasi tersebut.
Dari penguasaan atas pabrik pupuk tersebut akhirnya meluas ke berbagai sektor. Koperasi IFFCO tersebut tidak hanya membuat harga inputan yang murah bagi petani dan hasilkan keuntungan besar bagi petani, tapi juga dengan nilai keuntungan yang dicadangkan berhasil mendorong munculnya unit unit lainya seperti asuransi, logistik, dan pabrikasi hasil hasil pertanian.
Koperasi yang didirikan oleh 57 petani pada tahun 1967 tersebut sekarang sudah dimiliki oleh sekitar 35 ribu anggota dan menjangkau pelayanan bagi 50 juta orang petani hingga menempatkan IFFCO sebagai perusahaan pupuk terbesar di India dan menjadi perusahaan nomor 66 dalam rangking perusahaan versi Fortune India pada tahun 2021.
Untuk mengawalinya di Indonesia sebetulnya mudah saja. Pemerintah tinggal mengkonversi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor pupuk menjadi koperasi. Sahamnya diserahkan ke koperasi dengan mekanisme imbreng (penyerahan) seperti halnya penyerahan saham pemerintah ke korporasi ( Perseroan) selama ini. Inilah makna perintah konstitusi dikuasai oleh negara dan ditujukan bagi sebesar besar kemakmuran rakyat.
Saham dari pabrik pupuk itu langsung dimiliki oleh petani secara perorangan. Namun bedanya dengan sistem korporasi, dalam pengambilan keputusan perusahaan setiap orang memiliki hak suara yang sama.
Penghargaan terhadap mekanisme demokrasi dan otonomi ini adalah kunci agar tidak terjadi penguasaan saham melalui mekanisme dilusi saham yang jatuh kuasanya pada pemilik modal besar seperti dalam sistem korporasi. Keberhasilan dari banyak koperasi pertanian di dunia lainya seperti Japanesse Agriculture Zen-noh di Jepang yang putaran bisnisnya mencapai kurang lebih 600 trilyun rupiah (ICA, 2023) adalah salah satu contohnya.
Lalu setelah manajemennya mapan sebagai koperasi diintegrasikan dengan usaha usaha terkait lainya. Seperti misalnya Bulog , RNI, Pertani, PTPN dll ke tangan petani melalui koperasi pertanian demokratis tersebut.
Dengan kekuatan organisasi petani basis koperasi yang kuat maka masalah masalah lain seperti krisis pangan, krisis kaderisasi petani yang kita hadapi hari ini juga akan dapat teratasi dengan sendirinya. Lebih penting lagi, saatnya sistem pertanian keluarga yang terhimpun dalam koperasi integratif yang menjadi penopang kekuatan kedaulatan pangan, bukan pertanian basis korporasi.
Jakarta, 5 Oktober 2024