Narasi-Analisis : Penulis, Ali Al-Fatih
Dahulu, Orang Kampung menandai akan segera tibanya hujan dengan melihat Bongborosan (tunas-tunas pohon, seperti pohon Lengkuas, Jahe dan sejenisnya). Atau dengan pengetahuan perbintangan yang diajarkan secara turun temurun. Seperti, menandai posisi bintang Kerti/Kereti (pola bintang tertentu, yang akan kita ulas nanti). Selain itu, masih banyak hal-hal lainnya.
Foto KTLV-Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Sawah dengan bajak di Buitenzorg (Bogor), 1920/1930
Dalam hal ini, kami menyebut hal di atas sebagai unit-unit pengetahuan. Selain hal di atas, masih banyak unit pengetahuan lainnya, pada aspek pengelolaan bahkan tata ruang. Seperti wilayah Tutupan, Titipan dan Garapan, yang merupakan unit pengetahuan dalam aspek penataan ruang Kampung. Atau, penentuan wilayah kunci, seperti Gunung Kulantung sebagai basis material Navigasi Nelayan di Selatan Lebak.
Hal di atas, pernah hidup dimasa lalu, sebagai tradisi pengetahuan, pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga nenek moyang dapat bertahan dan mempertahankan diri, hingga anak cucunya (kita) ada sampai sekarang ini. Tentu, keberadaan generasi saat ini, tak dapat diceraikan dari segala sesuatu yang pernah ada dan hidup dimasa lalu, tatkala generasi awal memulainya untuk pertama kali.
Namun, digenerasi sekarang apa yang masih ‘memungkinkan’ dari ‘warisan’ (kebudayaan lokal) masa lalu, tak lagi dipercaya – sebagai pengetahuan. Seperti telah dikatakan sebelumnya, bahwa keberadaan generasi saat ini tak dapat diceraikan dari segala yang pernah terjadi dimasa lalu. Tentu, ada momentum krusial yang menyebabkan keterasingan pengetahuan ‘asli’ (lokal) terutama pada generasi sekarang ini.
Kami, sadar bahwa tidak semua yang ‘asli’ (lokal) itu baik. Pun juga, tidak menganggap segala pengaruh yang datang dari luar seluruhnya buruk. Namun, kami prihatin jika hal-hal (pengetahuan) baik dari sesuatu yang ‘asli’, mesti tereliminasi oleh sesuatu yang ‘datang’, akibat kurang jeliannya memilah dan memilih sesuatu yang datang tersebut. Pada akhirnya, eliminasi nyata terjadi, dengan menganggap segala sesuatu tentang masa lalu merupakan sesuatu yang kelenik secara serampangan.
Sekilas Mengenai Matinya Pengetahuan ‘Asli’
Diterangkan bahawa, di masa silam, kerajaan-kerajaan di Nusantara begitu tersohor ke belahan bumi lainnya. Pada bidang militer, ekonomi – perdagangan, hingga pengetahuan. Cukuplah kiranya, bahwa di negeri ini dahulu pernah ada suatu perdaban yang cukup mapan. Hal tersebut, tentu tidak dapat diceraikan dari pengetahuan yang hidup pada masa itu. Boleh juga kiranya kita menduga, bahwa sisa-sisa, serpihan pengetahuan-pengetahuan pada masa itu, salah duanya adalah hal-hal yang telah kita ulas di atas.
Babak awal matinya pengetahuan ‘asli’ Nusantara, berawal dari tunggang-langgangnya kerajaan-kerajaan setelah mengalami dinamika peperangan dengan Kolonial Belanda.
Setelah itu, Kolonial Belanda, mencengkramkan kekuasaannya lebih dalam, melalui lajur pengetahuan. Untuk melanggengkan penjajahan. “Selain ekspedisi militer dan politik, salah satu corak perluasan imperialisme adalah penjelajahan ilmuwan dan teknisi dari pusat-pusat keilmuan di Negara-negara induk ke kawasan jajahan (dan bukan jajahan)”, (Karlina Supelli, 2012).
Foto KTLV-Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Sekolah Buitenzorg di Buitenzorg (Bogor), 1925
Selanjutnya, tahapan Kolonial Belanda mencerabut pengetahuan ‘asli’ Nusantara. Pencerabutan ini, di ulas oleh Karlina Supeli sebagai “perembesan pengetahuan”, yang selanjutnya dibagi menjadi tiga fasa, Fasa Kontak, Fasa “ilmu kolonial”, dan Fasa Kemerdekaan. Ulasan tersebut, sederhananya demikian:
Fasa Kontak (abad ke 17 dan ke 18) – Berupa ekspedisi ilmuan, dan penjelajah amatir – misionaris yang datang ke Negara jajahan, lalu pulang membawa tumpukan data mentah. Observasi dilakukan demi kepentingan Kolonial. Mengawalinya pada bidang ilmu botani, zologi, geografi, geologi, metalurgi, navigasi, etnografi dan penyakit-penyakit tropis.
Fasa “ilmu kolonial” (awal abad ke 19 sampai menjelang kemerdekaan) – Di kawasan jajahan didirikan lembaga-lembaga keilmuan (lembaga penelitian – sekolah) dan komonitas keilmuan (perhimpunan-perhimpunan pelajar), demi menancapkan otoritas keilmuan di Negara induk/kolonial. Semua intelektual begri jajahan dan penelitian-penelitian lanjutan dikontrol oleh Negara induk/kolonial.
Fasa Kemerdekaan (menjelang kemerdekaan sampai sekarang) – Fasa ke dua, menyediakan benih tradisi “ilmu independen” yang menggilas ilmu ‘lokal’ – tradisi keilmuan ‘lokal’ sesudah kemerdekaan. Tradisi ini, sedikit banyak menyumbang pengaruh terhadap pengetahuan elit pejuang kemerdekaan. Namun, pada sisi yang lain, melahirkan ego pengetahuan – membenturkan berbagai kalangan. Selanjutnya, mengganggu tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan paska kemerdekaan, mengeliminasi tradisi pengetahuan ‘lokal’ yang tak sedikit mengandung pengetahuan-pengetahuan otentik yang memungkinkan untuk dijadikan pegangan – dikembangkan.
Pemberadaban : Kolonialisme Membunuh Kepercayaan Diri
Penelitian-penelitian yang dilakukan Kolonial Belanda, berhasil mendokumentasikan segala pengetahuan ‘asli’ Nusantara. Selanjutnya, Kolonial Belanda menyelenggarakan misi pemberadaban. Misi itu, menanamkan bahwa setiap Orang yang tidak menganut pengetahuan yang berasal dari Belanda, dianggap tidak beradab.
Misi tersebut, merupakan agenda politis yang membalik pengetahuan ‘asli’ Nusantara ke balik dinding gelap, ke balik kabut waktu tempat dimana rasa percaya diri telah terbunuh. “Unsur politis … adalah kecerdikan pemerintah kolonial dalam memanfaatkan keberhasilan penelitian murni … untuk mensahihkan keberlanjutan kolonialisme dengan bertopang misi pemberadaban”, (Karlina Supelli, 2012). Misi pemberadaban, berhasil menumbuhkan rasa ingin beradab. Namun, berhasil menghabisi segala keaslian, membunuh rasa percaya diri.
Referensi :
Karlina Supelli, 2012. “MALUNYA JADI ORANG INDONESIA”. Berburu Nalar di Bawah Bayang-bayang Hasrat