Artikel :
“… Dunia bernilai tidak hanya karena manusia ada di dunia, tetapi karena dunialah satu-satunya tempat kemungkinan manusia menemukan pengalaman akan penciptanya. Disatu pihak, manusia adalah pusat komunikasi Allah dengan dunia. Dilain pihak, dunia dan segala ciptaan bukan sekedar tanda kehadiran Allah. Dunia adalah satu-satunya tempat bagi manusia untuk ‘menemukan Allah’ di dalam segala hal. Dia berbicara “melalui ibu, melalui langit, dari pepohonan …”, bisik Jack sang tokoh dalam filem The Tree Of Life (2011). Pada hemat saya, perspektif itu membangun hubungan tritunggal antroposentrisme-teosentrisme-kosmosentrisme yang menghadirkan “Derama Kosmik” – meminjam istilah Cak Nur (1998). …” (Karlina Supelli, 2011).
Jika dibandingkan dengan Karlina, saya ini tidak ada apa-apanya, sedikitpun. Namun, walau harus memberanikan diri mengutip apa yang diulas Karlina dalam tulisannya, sekurangnya dapat dijadikan suatu sandaran, dalam memahami apa yang sedang berlangsung di Leuwi Suwakan hari-hari ini. Kutipan di atas, memang cendrung konseptual.
Hari ini, segala aktivitas kita bergeser jauh dari konsep tersebut. Justru karena, segala aktivitas kita telah jauh melenceng dari konsepsi hidup seperti tergambar pada kutipan di atas, itulah urgensinya. Walau demikian, bukan berarti kutipan di atas, harus dijadikan konsep hidup tunggal dalam keseharian, apalagi membatalkan argumentasi lain yang juga dinilai mapan. Anggap saja, kutipan di atas, sebagai salah satu pertimbangan untuk mengoreksi keseharian kita, sebagai manusia yang hidup di Alam, yang juga beragama.
Kebudayaan kita hari ini, sangat menjelimet, semberawut, akibat tidak diimbangi dengan budaya Refleksi, ditengah kehidupan kita yang semakin Kapitalistik, Individualis juga makin Fanatis! Kita, cendrung tergesa-gesa, cepat menyimpulkan sesuatu hal, misal, membenarkan ‘Kanan’ namun menyalahkan ‘Kiri’, atau menelan mentah agenda pariwisata tanpa menyingkap selubung yang menyelimutinya. Kita tabu, mengikuti cara-cara Orang dalam menyikapi hal demikian sebagai pengetahuan (contohnya kutipan di atas). Walaupun harus bertengkar dalam bentuk argumentasi, tetapi masih dapat rukun dalam hidup sehari-hari. Kita ini keliru mengelola hasrat dan akhirnya terjebak pada pertengkaran yang tidak berguna!
Mudah-mudahan, untaian kata pembuka ini, tidak mengurangi sopan santun, yang hari ini kian menjadi belenggu, terhadap sikap kritis. Padahal, sikap tersebut hanya sekedar mengungkapkan apa yang mengganjal di dalam isi tempurung kepala. Namun, hari ini tidakan semacam itu dicap ‘arogan’, terlebih jika dilakukan oleh anak muda. Terakhir, saya yakin, Karlina Supelli tidak akan terusik hargadirinya, dengan dipanggil Karlina saja, tanpa kata ‘Ibu’ atau ‘Bu’ di depan namanya.
Leuwi Suwakan, Tambang dan Pariwisata
Seiring dengan ‘mengudaranya’ istilah pariwisata, Orang-orang dihampir setiap penjuru Kampung, kian latah dengan istilah tersebut. Kelatahan itu, kemudian dipertebal, dengan munculnya istilah Geopark baru-baru ini. Di Lebak – Selatan Lebak, jelimet pariwisata, semakin menuhok kepermukaan tatkala Visi-Misi pemerintah Kabupaten Lebak, memasukan pariwisata sebagai agenda pembangunan (2019/2023). Tak ayal, hal-hal menyangkut kepariwisataan disosialisasikan dan mewujud dengan berbagai program, sejak adanya Pokdarwis hingga wujud lainnya di penjuru Desa se_Kabupaten Lebak. Namun, pariwisata yang dielu-elukan kian ‘gamang’ ditengah kondisi ‘kehidupan masyarakat’ Lebak yang semakin ‘memburuk’, terutama krisis ekologi. Terbukti, pariwisata sebagai agenda pemerintah Kabupaten Lebak yang syarat akan nilai-nilai “Konservasi”, tidak mampu membendung bencana banjir dan longsor yang berlangsung sejak 2019 – 2022 (lihat berita), bahkan terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya. Jelas, bencana tersebut berdampak pada kerugian pada aspek sosial.
Selanjutnya, pemerintah Kabupaten Lebak menggenjot program Geopark yang tak kalah ‘Konservasi’ dibandingkan dengan program pariwisata lainnya. Lebih dari pariwisata, Geopark ‘mencerminkan’ pemerintah Kabupaten Lebak seolah memiliki keberpihakan terhadap keberlangsungan alam (ekologi), ditengah kondisi alam Lebak yang semakin memburuk!?.
Sejak beberapa waktu kebelakang, Orang-orang Suwakan DSK, mulai melirik wilayah Leuwi Suakan sebagai tempat yang menarik untuk dikelola sebagai lokasi pariwisata. Istilah Geopark juga mulai diletakan kedalam Kawasan Leuwi Suwakan dengan Grand Canyonnya. Aktivitas, masa lampau mulai disusun ulang, untuk membingkai Leuwi Suakan yang pariwisata dan Geopark itu, khususnya kegiatan “Rakit” (rarakitan).
Beberapa hari lalu, terlihat pemuda Kampung Suwakan berkumpul di Leuwi Suakan, membuat Rakit, mengarungi Leuwi dengan Rakit, menyentuh tebingan Gamping, dan melangsungkan obrolan mengenai hiruk-pikuk Kawasan Leuwi Suakan. Tentu, kegiatan ini dinilai pentig, diluar segala pertimbangan yang berlangsung di dalam aktivitas tersebut. Leuwi Suwakan, kini berada di tengah aktivitas pertambangan, dari yang legal maupun illegal.
Aktivitas ‘ekonomi keruk’ (pertambangan) yang sedang berlangsung disekitar Kawasan Leuwi Suwakan dan Hulu Cimadur, lambat-laun akan berdampak buruk pada keberlangsungan Kawasan Leuwi Suakan. Dengan adanya aktivitas Orang-orang di Leuwi Suakan, tentu Orang-orang Suwakan dapat mengawal keberlangsungan Leuwi Suwakan dari segala pemburukan yang disebabkan oleh aktivitas di luar Leuwi Suwakan. Namun, apakah hal tersebut cukup mapan dengan ‘Kesadaran Pariwisata’ yang bersemayam dalam benak pengelola wisata Leuwi Suwakan?
Kerinduan-kerinduan : Refleksi
Leuwi Suakan dan Rakit dalam kehidupan Orang Suwakan yang menyejarah, sejatinya merupakan salah satu aspek penting dalam sejarah Orang Suwakan. Pada waktu yang telah berlalu, Kawasan Leuwi Suwakan dan Rakit berpautan, sebagai salah satu penunjang kebutuhan harian Orang-orang Suwakan. Terutama untuk aktivitas ekonomi Orang Suwakan. Sehingga, mewujud istilah Leuwi dan benda berupa Rakit. Kemudian, munculnya istilah “Leuwi” Suwakan dan “Rakit”, tentu, beriringan dengan nilai yang terkandung di dalamnya, pada kesadaran Orang Suwakan di masa lalu, juga pada Orang Suwakan hari ini. Sistem nilai tersebut, yang mendorong Orang Suwakan menganggap penting Leuwi Suakan dan Rakit, kalaupun tanpa dituntun dengan istilah pariwisata, geopark dan atau konservasi yang cendrung ‘Kapitalistik’ dimasa lalu! Sistem nilai itu, bersemayam sangat dalam, di dalam kesadaran Orang Suwakan hingga kini.
Pekembangan zaman, beriringan dengan berkembangnya pasar. Syarat dengan iklan, menawarkan kemudahan dan kenyamanan hidup (sejahtera). Lambat laun, kondisi ini mengoyah sistem nilai yang telah tersetruktur sebelumnya. Kemudian, merangsek masuk, menggantikannya dengan sistem nilai yang baru. Sayangnya, sistem nilai baru itu, menggerus nilai-nilai dari sistem nilai sebelumnya, yang lebih mungkin untuk dijadikan pegangan pada kehidupan hari ini.
Pada kehidupan sebelumya, pencaharian Orang Suwakan lebih dominan dengan pengelolaan pertanian. Sehingga, dominasi kepentingan terhadap Leuwi Suwakan dan Rakit lebih tinggi. Ditambah lagi, akses kendaraan bermotor, belum seperti sekarang, sebagai akses lainnya, penunjang aktivitas Orang Suwakan sehari-hari. Seiring berkembangnya kehidupan dan pergantian pemerintahan yang melahirkan kebijakan pembangunan Negara. Segala ‘tawaran’ (pasar-pembanguan) kian menggeser aktivitas ekonomi Orang Suwakan, yang diikuti dengan pergeseran cara pandang pada generasi berikutnya.
Pergeseran aktivitas ekonomi yang awalnya lebih dominan pertanian ke non_pertanian, bukan sesuatu hal yang terlarang (buruk). Apa lagi, jika ditilik dari konteks HAM. Namun, bagai mana, jika hal demikian itu melahirkan sebuah kekeliruan memandang alam. Sehingga, Orang-orang Suwakan tidak lagi menganggap penting Leuwi Suwakan dan Rakitnya, dengan utuh.
Hal di atas, tentu berpautan dengan kondisi lainnya, yang juga menyumbang pergeseran nilai. Seperti halnya pertambangan Emas yang dilakukan oleh PT. ANTAM dan PETI, yang menggerus keberlangsungan Ikan dan ekosistem Sungai Cimadur lainnya. Hal di atas, tentu tidak berdiri sendiri, kondisi itu berkelindan dengan segala yang berlangsung di luar.
Berkurangnya Ikan dan sumber penghidupan lain di Sungai Cimadur, perlahan membuat Orang Suwakan menjauh dari Leuwi Suwakan (Sungai Cimadur). Belum lagi, isu pencemaran merkuri, menjadi momok menakutkan bagi Orang Suwakan (cek cerita pemberian cicin sumur dari PT. ANTAM), memperparah jarak antara Orang Suwakan dan Leuwi Suwakan. Hal itu, bukan seuatu kejadian yang kodrati, datang dari langit sebagai takdir. Kondisi tersebut, terjadi sebagai dampak dari pergeseran pilihan Orang-orang Suwakan dan Orang-orang disekitarnya. Termasuk, pilihan orang-orang di Hulu dan Hilir Cimadur.
Kalaupun hari ini Leuwi Suwakan menjadi sasaran agenda pengembangan pariwisata, apakah Leuwi Suwakan dan kehidupan Orang Suwakan berada dalam lajur yang tepat, di tengah komleksitas kehidupan diseluruh Kawasan Sanggabuana, yang kian ‘gagap’ karena kehilangan pegangan? Kita semua, ‘kebingungan’ ditengah arus kehidupan kapitalistik yang menyibukan kita dengan segala ‘ketergantungan’. Sehingga, menyebabkan ketergesaan memilih pegangan, seperti; berpegang pada Pariwisata – Geopark dan atau Konservasi. “… dampak etis tidak ditentukan konsepnya, tetapi oleh hidup Orang-orangnya…” (Karlina Supelli, 2011).
Kegiatan yang berlangsung di Leuwi Suakan dengan Rakit (Rarakitan), merupakan suatu aktivitas yang timbul karena didorong oleh desakan batin akan kerinduan manusia terhadap alam, atau sebaliknya. Kegiatan itu, tidak hanya disebabkan karena suatu pegangan baru bernama pariwisata. Pengelolaan wisata Leuwi Suakan, seolah mewujudkan hubungan antara Orang Suwakan (manusia) dan Leuwi Suakan (alam). Merupakan kesadaran paling luar, dalam latar pengalaman (pengetahuan) hidup Orang Suwakan dan Leuwi Sukan yang menyejarah. Oleh karena pengalaman (pengetahuan) kapitalistik menutupi pengalaman hidup yang lebih ‘original’, pengalaman masa lampau, berakumulasi menjadi suasana tertentu di dalam batin Orang Suwakan. Secara tergesa, saya sebut hal tersebut merupakan akumulasi kerinduan-kerinduan di dalam batin Orang Suwakan. Contohnya, aktivitas pengelolaan pariwisata Leuwi Suwakan yang berlangsung hari ini. Kerinduan ini, hari ini berpegang pada istilah pariwisata-geopark dan atau istilah ‘konservasi’ lainnya.

Foto : pembuatan Rakit Bambu, persiapan vestipal Rakit Leuwi Suwakan, peringatan Hari Pahlawan 2023
Apakah, kerinduan-kerinduan Orang Suwakan pada alam Leuwi Suwakan sudah memilih pengangan yang tepat? Atau sesungguhnya belum? Jika demikian, salah-salah kerinduan tersebut, akan berujung pada fanatisme ‘pejuang konservasi’, yang akan berlanjut menuju ‘kesepian’ selanjutnya. Karena, kerinduan tersebut, digantungkan pada sesuatu yang tidak sesuai dengan suasana batin Orang Suwakan yang sesungguhnya.
Penulis : Ali Al-Fatih, 2023
Referensi :
Karlina Supelli, 2011. “DARI KOSMOLOGI KE DIALOG (MENGENAL BATAS PENGETAHUAN, MENOLAK FANATISME)”. MIZAN, 2011.