Penulis adalah Try Adhi Bangsawan (Pegiat Politik Sanggabuana Institute)
Disclaimer: Tulisan ini ditulis pada Rabu, 11 Desember 2024 sebulan setelah Pilkada Serentak dan marak terjadi Banjir serta Longsor di Banten bagian selatan. Secara momentum sebetulnya sudah lewat, berhubung ada yang PSU (Kab. Serang), Agaknya tulisan ini menemukan relevansinya kembali. Selamat Membaca!
Kita telah mengilhami demokrasi sebagai jalan memilih dan memilah pemimpin melalui Pemilihan Umum/Pemilihan Kepada Daerah. Triliunan pajak rakyat digunakan untuk menempuh jalan itu sebagai upaya mewujudkan demokrasi dengan khidmat, melahirkan pemimpin yang ‘konon’ katanya dikehendaki oleh rakyat, sebab rakyat memilih secara langsung. Demokrasi dikehendaki sebagai ikhtiar politik untuk menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi semuanya. Akan tetapi, bak diikat tali sehasta. Susahnya minta ampun.
Tahun ini, selain pemilihan Gubernur, 8 Kab/Kota di Provinsi Banten secara serentak melaksanakan Pemilihan 2024 yang dalam pandangan penulis minim gagasan soal kerusakan lingkungan. Sudah tentu, banyak harapan perbaikan ke depan untuk kemakmuran dan kesejahteraan di Banten. Tidak sampai disitu, belum sebulan Pilkada usai bencana banjir dan longsor terjadi di mana-mana, utamanya di wilayah Banten bagian selatan. Persoalan publik yang terus muncul tiap kali menghadapi musim penghujan, apakah ini kehendak alam? Atau kerusakan lingkungan kian tak terhindar? Sebab rasanya, ini berlangsung setiap Tahun. Katanya “akibat curah hujan yang tinggi”, dalih yang terus muncul tiap Tahun, saat Banjir dan Longsor terjadi.
Penulis mencoba mencatat bagiamana Pilkada seharusnya menjadi medium dalam menyelesaikan persoalan lingkungan. Sebab, kejadian banjir dan longsor bukan sekedar fenomena alam. Akan tetapi, kerusakan lingkungan akibat keliru memahami pembangunan sebagai jalan dalam mensejahterakan masyarakat. Soal ini pula yang luput dari janji politik mereka yang berkontestasi di Pilkada Banten.
Obat Pelipur Lara
Seringkali, tindakan pemerintah hanya memberikan obat penawar bagi korban banjir dan longsor. Menyediakan banyak makanan, minuman, pakaian, dan tenda pengungsian, disusul kawan-kawan relawan dan gerakan mahasiswa untuk baksos dengan ikhtiar membantu meringankan korban banjir dan longsor. Atau Dinas terkait siaga dengan alat berat untuk memperbaiki jalan amblas, atau Anggota Dewan (DPRD) yang turun ke lapangan sambil menghubungi dinas terkait. Pertanyaannya, apakah hanya itu yang bisa pemerintah lakukan?
Penulis menilai, bahwa selama ini apa yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi maupun Kab/Kota adalah mengobati luka (banjir dan longsor) tiap tahun, tanpa berpikir bagaimana pencegahannya. Seolah-olah tidak memiliki ahli Geologi, kebingungan bagaimana cara memperlakukan tanah yang memiliki korelasi erat dengan konsep pembangunan yang hendak dilakukan. Atau kebuntuan mengolah SDA selain dikeruk dan tambang – duit.
Sependek pengetahuan penulis, rencana pembangunan daerah bermuara pada Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang didalamnya membahas berbagai pemanfaatan ruang hidup (darat, laut, udara) sebuah daerah. Artinya bahwa, pencegahan untuk meminimalisir Banjir dan Longsor bisa dimulai sejak perumusan RTRW baik tingkat Provinsi maupun Kab/Kota dengan menyesuaikan pada kontur tanah atau konteks sosial-budaya masyarakat setempat.
Sebagai contoh Kabupaten Lebak. Pada dasarnya, kawasan pegunungan tak memiliki garis demarkasi dengan pesisir. Sebab, yang mengalir dari hulu akan sampai ke hilir. Jadi kalau pegunungannya sudah rusak, dampaknya akan ke wilayah hilir. Kalau semua pegunungan di Lebak, (misalnya) pemerintah memberikan ijin konsesi tambang skala industri, kiranya banjir dan longsor akan terus terjadi. Sebab, berpengaruh terhadap resapan air, tanah, dan faktor lain yang mempercepat arus kerusakan lingkungan.
Perlu diketahui dalam Perda RTRW Lebak 2023-2043 No. 7 Tahun 2023, Kawasan Hutan Lindung Kabupaten Lebak hanya seluas 3.471 Hektar di 9 Kecamatan, sedangkan Kawasan Peruntukan Industri seluas 10.981 Hektar di 15 Kecamatan. Bayangkan, kawasan hutan lindung hanya 30% dari kawasan industri. Persoalan ini penting untuk dibicarakan lebih serius, sebab daya dukung lingkungan juga berkaitan dengan perlindungan atas kawasan hutan.
Dalam rangka meminimalisir dampak banjir dan longsor, pemerintah dapat memulainya dengan memperluas kawasan hutan lindung, atau tidak memberikan ijin atas aktivitas tambang secara serampang atau lainnya yang dapat merusakan tatanan lingkungan hidup. Hal ini yang paling mungkin dilakukan pemerintah, untuk meminimalisir banjir dan longsor sebagai daya dukung keberlangsungan lingkungan hidup.
Indigenisasi Kebijakan Lingkungan
Upaya untuk melahirkan kebijakan, baik lingkungan maupun persoalan publik lainnya menjadi pekerjaan rumah kita semua. Kebijakan publik sedianya memberikan rasa keadilan untuk semua orang (impersonalitas), hal ini telah menjadi lokus kajian penstudi kebijakan baik secara teoritik maupun praktik. Pelbagai kritik serta kajian berlangsung sejak 1990-an, di mana banyak teori-teori pembangunan justru malah melahirkan ketidakadilan. Sehingga, menemukan kebuntuan dalam menjawab masalah publik.
Persoalan ini menjadi konsen para ilmuwan sejak lama, dalam mencari teori-teori yang sesuai dengan kehidupan sosial masyarakat Indonesia (indigenisasi). Meskipun mengalami pasang surut, geliat indigenisasi ilmu sosial di Indonesia menjadi perhatian serius pada dekade 1990-an (Martanto, 2012). Kegelisahan ilmuwan memuncak, sejak pemerintah mempraktekan kebijakan-kebijakan publik dari barat secara mentah-mentah yang ‘gagal‘ menghadirkan kesejahteraan yang dipromosikan oleh teori-teori tersebut.
Oleh karena itu, indigenisasi kebijakan lingkungan dapat dimulai dengan menggali pelbagai pengetahuan-pengetahuan kampung dalam mengelola lingkungan hidup yang kemudian dikonversi menjadi kebijakan lingkungan. Sebaiknya, Pemerintah Provinsi Banten maupun Kabupaten Lebak, tidak usah studi banding keluar kota/provinsi untuk mendapatkan pengetahuan soal lingkungan. Cukup mendatangi Baduy dan merefleksikan bagiamana mereka memperlakukan alamnya, tempat mereka hidup. Atau menggali pengetahuan dari masyarakat adat lainnya dalam mengelola lingkungan, sebab hal ini penting bagi keberlangsungan lingkungan hidup utamanya di Banten bagian selatan. Sekilas, Indigenisasi merupakan upaya untuk mencari kecocokan konsep pembangunan, maupun pengelolaan lingkungan yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Pencarian keaslian ini yang perlu ditindaklanjuti, untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup yang kian memburuk.
Pilkada & Kerusakan Lingkungan
Isu soal kerusakan lingkungan sudah menjadi perhatian dunai internasional, pelbagai negara telah berikhtiar untuk memperbaiki krisis iklim yang tengah berlangsung hari ini. Sehingga, kolaborasi berbagai elemen masyarakat kian mendesak untuk dilakukan. Akan tetapi, soal ini menguap tanpa jejak pada Pilkada Banten 2024. Dalam amatan penulis, semua calon yang berkontestasi tidak memiliki visi yang kuat soal pembangunan berkelanjutan. Populisme ekologi mengalami kegagalan pada Pilkada Banten 2024. Paslon sibuk mencari jalan keluar atas kemiskinan, infrastruktur, tanpa menyinggung soal lingkungan.
Menurut Delly (Kompas, 22/10/24), Isu lingkungan penting, tapi yang menganggap tidak penting lebih banyak. Dalam kondisi krisis iklim yang kian parah, pemilih harus bertanya bagaimana calon pemimpin menangani isu lingkungan. Seringkali, Pilkada menjadi wahana bagi paslon untuk menaikkan popularitas ketimbang gagasan, apalagi soal lingkungan. Seharusnya, Pilkada menjadi momentum penting dalam menyerukan isu lingkungan.
Padahal, ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh kepala daerah dalam memperbaiki kerusakan lingkungan. Mulai mencari pengetahuan pengelolaan lingkungan dari masyarakat adat/kasepuhan di Banten, memperluas kawasan hutan lindung, sampai dengan zonasi kawasan yang mempertimbangkan karakteristik alam.
Hal ini juga diperuncing soal komodifikasi SDA, selain di tambang ya mau diapakan lagi? Cara pandang terhadap alam, gunung dan lautan bukan sebagai penyeimbang tatanan semesta, melainkan komoditas ekonomi yang musti dikeruk. Kebuntuan ini yang turut serta mempercepat laju kerusakan lingkungan.
Simpulan
Upaya memperbaiki kondisi lingkungan musti segera dilakukan, sehingga curah hujan yang tinggi bukan lagi sebagai musibah, melainkan berkah untuk kita semua. Karenanya, cara pandang penanggulangan pasca kejadian banjir dan longsor musti bergeser pada bagaimana menyelesaikan kerusakan lingkungan sebagai bentuk mitigasi.
Dan kepala daerah memiliki daya dan kuasa untuk memperbaiki itu semua, jadi sebaiknya cek kembali Visi dan Misi Paslon yang terpilih pada Pilkada Banten 2024. Adakah yang konsen terhadap isu lingkungan?
Penulis adalah Try Adhi Bangsawan (Pegiat Politik Sanggabuana Institute)