Penulis : Ali Al-Fatih
Mukaddimah
Diterangkan dalam berbagai sumber, bahwa, Banten dimasa lalu, merupakan sebuah wilayah penting. Baik pada masa kejayaan Kerajaan Sunda, Kesultanan Banten, bahkan pada masa Kolonial Belanda. Letaknya yang strategis, menjadikan Banten sebagai wilayah kunci, melintasi keruntuhan demi keruntuhan, saksi silih bergantinya penguasa ke penguasa, hingga hari ini. Kejayaan hingga kekalahan, pernah dialami Banten.(*)
Pada masa Kolonial belanda, bahkan pada masa sebelumnya, Banten merupakan titik sentral dari segal hal, segala aktivitas, bersama dengan wilayah penting lainnya, di Pulau Jawa dan Pulau-pulau lainnya. Keterbatasan teknologi, menjadikan Laut sebagai media transportasi utama, tolak ukur sebuah pertumbuhan. Menyisakan kisah dan kebudayaan, material hingga non-material pada masa kini.
Jejak-jejak : Album Foto 1872 – 1937 Masehi
Foto – KTLV Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Inheemse zeilboten bij Laboehan aan de Westkust van Bantam, Th.1927 (Perahu layar pribumi di Labuan di Pantai Barat Banten, Tahun 1872)
Foto KTLV – Leiden University Libraries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Moskee te Bantam bij Serang, Th.1880 (Mesjid di Banten dekat Serang, Tahun 1880)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Veer op de Tjioedjoeng bij Rangkasbitoeng, op de plaats waar de spoorbrug in de lijn Batavia naar Bantam, Th.1897 (Perahu/feri melintasi Ciujung di Rangkasbitung – di lokasi sekitar jembatan kereta api jalur Batavia/Jakarta – Bantam/Banten, Tahun 1897)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Inheemse zeilboten bij Laboehan aan de Westkust van Bantam, Th.1927 (Perahu layar pribumi di Labuan di Pantai Barat Banten, Tahun 1927)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Vrouwen in de zee in de Baai van Banten bij Serang, Th.1931 (Wanita di laut di Teluk Banten dekat Serang, Tahun 1931)
Foto KTLV – Leiden University Libraries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : De Tjioedjoeng bij Serang, Th.1935 (Ciujung dekat Serang, Tahun 1935)
Foto KTLV – Leiden University Libraries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Prauwen, vermoedelijk te Laboehan bij Pandeglang, Th.1935 (Perahu, mungkin di Labuan dekat Pandeglang, Tahun 1935)
Foto KTLV – Leiden University Libraries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Schip vaart weg uit Merak bij Serang, Th.1935 (Kapal berlayar menjauh dari Merak dekat Serang, Tahun 1935)
Foto KTLV – Leiden University Libraries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Zeilschip, vermoedelijk te Laboehan bij Pandeglang, Th.1935 (Kapal layar, mungkin di Labuan dekat Pandeglang, Tahun 1935)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Kust te Laboehan bij Pandeglang, Th.1935 (Pantai Labuan dekat Pandeglang, Tahun 1935)
Foto KTLV – Leiden University Leberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Melindjay drogerij voor het maken van emping te Laboehan bij Pandeglang, Th.1935 (Pabrik pengeringan melindjo untuk pembuatan emping di Labuan dekat Pandeglang, Tahun 1935)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Prauwen te Laboehan bij Pandeglang, Th.1935 (Perahu di Labuan dekat Pandeglang, Tahun 1935)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Westkust van Java met op de achtergrond de Krakatau, Th.1935 (Pantai barat Jawa dengan latar belakang Krakatau, Tahun 1935)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : De Lajar, zuidgrens van de plantage van Cultuurmaatschappij Sawarna te Sawarna in West Java, Th.1937 (Layar/Tanjung Layar, perbatasan selatan perkebunan “Cultuurmaatschappij” Sawarna di Sawarna, Jawa Barat, Tahun 1937)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Nieuwe huizen (volkswoningen) op de plantage van Cultuurmaatschappij Sawarna te Sawarna in West Java, Th.1937 (Rumah baru (perumahan rakyat) di perkebunan “Cultuurmaatschappij” Sawarna di Sawarna Jawa Barat, Tahun 1937)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Prauwen voor transport van copra, vermoedelijk op het strand bij de Lajar, zuidgrens van de plantage van Cultuurmaatschappij Sawarna te Sawarna in West Java, Th.1937 (Praa/Perahu Kincang untuk pengangkutan kopra, kemungkinan di pantai Lajar/Tanjung Layar, perbatasan selatan perkebunan ‘Perusahaan Budaya’/Perkebunan Kelapa Sawarna di Sawarna, Jawa Barat, Tahun 1937)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Zesjarige kokospalm op de plantage van Cultuurmaatschappij Sawarna te Sawarna in West Java, Th.1937 (Pohon kelapa berumur enam tahun di perkebunan Cultuurmaatschappij Sawarna di Sawarna, Jawa Barat, Tahun 1937)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Kokospalmen met grondbedekking van leguminosen op de plantage van Cultuurmaatschappij Sawarna te Sawarna in West Java, Th.1937 (Pohon kelapa dengan penutup tanah berupa kacang-kacangan di perkebunan “Cultuurmaatschappij” Sawarna di Sawarna, Jawa Barat, Tahun 1937)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Kokospalmen met grondbedekking van vigna op de plantage van Cultuurmaatschappij Sawarna te Sawarna in West Java, Th.1937 (Pohon kelapa dengan penutup tanah vigna di perkebunan “Cultuurmaatschappij” Sawarna di Sawarna, Jawa Barat, Tahun 1937)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Rijstschuur en huis (volkswoning) op de plantage van Cultuurmaatschappij Sawarna te Sawarna in West Java, Th.1937 (Lumbung padi dan rumah (perumahan rakyat) di perkebunan “Cultuurmaatschappij” Sawarna di Sawarna, Jawa Barat, Tahun 1937)
Foto KTLV – Leiden University Liberaries (digitalcollections.universiteitleiden.nl) : Stapels kokosnoten voor de coprafabriek van Cultuurmaatschappij Sawarna te Sawarna in West Java, Th.1937 (paku payung/Pondok/Saung kelapa di depan pabrik kopra Cultuurmaatschappij Sawarna di Sawarna, Jawa Barat, Tahun 1937)
Yang Runtuh Semakin Luruh dan Luluh
Sejarah panjang peperangan di Banten – Laut Banten, mengisahkan kekalahan demi kekalahan, menyisakan puing-puing kejayaan Banten di dasar lautnya. Runtuh bersama luruh dan luluhnya Laut Banten.
Perkembangan agama Islam di tanah Sunda, menjadi babak pembuka, kejayaan Laut Banten untuk kesekian kalinya. Namun, bersamaan dengan hal itu, membuka babak baru runtuhnya Kerajaan Sunda. Perbedaan keyakinan, disusupi kepentingan “kapitalisme” (VOC), mendalangi terdesaknya Kerajaan Sunda (Pajajaran) hingga mengalami keruntuhan.(*)
Kesultanan Banten yang mendapatkan kemenangan sementara, menunjukan dirinya kepada duni dengan lautnya yang gagah. Lalulintas Laut Banten, tumbuh sekejap mata.
Babak selanjutnya, mesuk pada pertikaian sengit antara Kesultanan Banten dan Kerajaan Belanda. Mengawali penguasaan asing terhadap wilayah Banten dan awal luruhnya Laut Banten. Setelah, Kolonial Belanda menguasai Banten, Laut Banten tetap difungsikan. Namun segala-galanya, demi kepentingan Negara Belanda. Kolonial Belanda, melakukan penghisapan ke seluruh pelosok wilayah Banten melalui jalur Laut bahkan daratan. Perkebunan Kelapa dan komoditas lainnya, mulai digalakan. Kopra, Lada, Kopi hingga barang Tambang dirampas dengan cara-cara senyap. Dengan regulasi dan persekongkolan, hingga Kemerdekaan Negara Kesatuan Indonesia di Proklamirkan.
Proklamasi, nyatanya hanya mampu menghantarkan kejayaan Laut Banten yang sudah luruh ke pintu gerbang saja. Selepas itu, segala yang tersisa dari kejayaan-kejayaan, tak dapat bangkit apalagi tumbuh. Agenda pembangunan pemerintah Negara Indonesia cendrung serampangan, malah takluk dan tunduk pada kepentingan-kepentingan global, yang “kapitalistik”. Selat Sunda dengan ramainya lalulintas perahu-perahu nelayan pribumi, nyatanya hanya mimpi. Dermaga-dermaga yang dahulu menghantarkan kejayaan Krajaan Sunda Pajajaran dan Kesultanan Banten, tak kunjung tumbuh. Pertumbuhannya, disesaki pabrik-pabrik. Lebih parah, yang terjadi pada pelabuhan-pelabuhan kecil di Pandeglang dan di Lebak. Hari ini, kondisi Laut takluk pada kepentingan “Kapitalisme”. Laut Bayah (Sawarna dan sekitarnya), yang dahulu dikuasai Nelayan untuk menangkap Ikan dan mengangkut Kopra. Kini, diputus oleh distribusi semen sebuah Pabrik. Juga mengganggu, Aktivitas Nelayan Binuangeun, Panimbang, Labuan dan lainnya. Laut Banten kini tunduk dan Luluh, pada moda ekonomi raksasa.
Dibalik Yang Luruh dan Yang Luluh
Setiap kejayaan meninggalkan kebudayaan, setiap kekalahan menghasilkan romantisme dan serpihan-serpihan kebudayaan yang hampir habis digilas “peradaban”.
Sisa-sisa kejayaan Laut Banten, kini, menyisakan pelabuhan-pelabuhan kecil Nelayan di beberapa titik. Pelabuhan nelayan di Labuan, Panimbang dan Binuangeun, merupakan serpihan dari kejayaan Laut Banten, dengan segala keruetannya. Selebihnya, adalah kisah-kisah pengantar tidur mengenai kejayan masa silam. Serpihan yang lain, yaitu Gunung Kulantung yang kesepian bersamaan dengan lelahnya Nelayan, yang semakin hari semakin berkurang.
Foto Gunung Kulantung dari arah pesawahan Kampung Cimandiri/Karoya, Pertengahan Tahun 2024
***
Referensi :
Kejayaan tinggal kenangan sejarah, dan setiap masa ada orangnya setiap orang ada masanya. Mungkin sekarang banten hanya provinsi kecil dimata kemajuan wilayah lain, terkadang seajarah jadi referensi terbaik untuk membangunkan motivasi.
Terimakasih telah menyimak tulisan-tulisan kami.