Penulis : Iqbal Kamil
Mukaddimah
Makan Bergizi Geratis (gratis), benar-benar bukan program yang “Omon-omon” belaka. Dia datang, dari program “Makan Siang Geratis” Paslon Presiden/Wakil Presiden 02 (Prabowo/Gibran), yang terus dikapmanyekan pada gelaran Pilpres 2024 kemarin. Dibalut sedemikian rupa, dengan lagu-tarian “Oke Gas”, dan berujug kemenangan Paslon 02 (Prabowo/Gibran). Selanjutnya, program tersebut di “gas” terus oleh paslon terpilih (Prabowo/Gibran).
Saat ini, program “Makan Siang Geratis”, mengalami perubah istilah, menjadi program “Makan Bergizi Geratis”. Dalam sebuah media, Presiden terpilih Prabowo Subianto mengatakan “Ini proyek yang sangat besar, tidak ringan, fisiknya tidak ringan. Tapi saya jamin dananya ada, saya jamin dananya ada untuk semua anak-anak Indonesia makan. Yang sudah tidak perlu (program) makan ya tidak apa-apa. Beri jatahnya kepada yang perlu,” (presidenri.go.id, 25 Januari 2025). Sungguh, program yang sangat besar, memerlukan dana yang sangat besar, dan memerlukan ‘retorik’ dengan tekanan yang kuat. Untuk mewujudkannya, Presiden Prabowo, menegaskan kepada kementrian-kementrian terkait dan petinggi lembaga negara non-kementrian, seperti yang bisa kita saksikan diberbagai media (Youtube dan lain-lain). Terlebih lagi, karena program Makan Bergizi memerlukan dana yang sangat besar.
Badan Gizi Nasional, menyatakan bahwa kebutuhan dana setiap satu bulan untuk menjalankan program makan bergizi, sebesar 25 Triliyun dalam satu bulan (Kompas.com, 30 anuari 2025). Gelontran dana yang sangat besar tersebut, nantinya akan berputar dipedesaan, seperti yang diharapkan oleh pemerintah juga masyarakat, dan mampu menghidupkan perekonomian di Desa, sebagai solusi penyelesaian persoalan kemiskinan. Seperti, harapan beberapa orang, supaya dapat ‘menyuplai’ Toge untuk program Makan Bergizi (situasi yang penulis dengar dalam obrolan harian di Kampung).
Mungkin bagi Presiden Prabowo, urusan gizi merupakan urusan krusial, masalah bangsa yang mendesak, yang mesti segera ‘dientaskan’, seperti yang kita lihat dan dengar di media-media. Hampir senada dengan itu (bisa berlainan maksud), Sajogyo (1970), memasukan kebuthuan pokok gizi dalam aspek non-moneter pada garis kemiskinan, untuk mengukur kemiskinan (kondisi kesejahteraan tiap keluarga), (A. Mamud, 2019). Namun, kita mesti menguji hal tersebut, yang terus diungkapkan Presiden Prabowo dengan menggebu-gebu disampakan dalam beberapa kesempatan.
Akhir-akhir ini, hal di atas (hubungan gizi dan kesejahteraan), cukup akrab di telinga, setelah teknologi menyediakan pintu kemudahan untuk mengakses segala informasi. Sepertinya, Presiden Prabowo (Indonesia) mencoba mengikuti Negara-negara maju seperti Jepang dan Finlandia (dan masih ada negara lainnya), yang mengawali ‘kemajuan’ negaranya dengan perhatian lebih, terhadap persoalan “gizi”, sebagai program lanjutan dari penghapusan kemiskinan. Contoh laninya adalah Tiongkok. Setelah mengalami berbagai gejolak yang melahirkan berbagai krisis, Tiongkok mengalami kemajuan setelah tahun 1970-an. Maslah gizi sangat diperhatikan, sebagai tolak ukur kualitas hidup. Sederhananya; “Gizinya baik, berarti makanannya baik. Makanannya baik, berarti kualitas hidupnya baik (penghasilannya-lingkungannya baik). Bedanya, Tiongkok mengawalinya dengan program memperbaiki pokok-pokok dasar kehidupan, begitupun Jepang dan Finlandia. Indonesia?
Seperti Negara-negara yang telah disebutkan di atas, rasanya perlu menyoroti program Makan Bergizi, sebagai salahsatu prioritas Pemerintahan Prabowo/Gibran kedepan. Yang terus di hegemoni dapat menciptakan pertumbuan ekonomi di Desa-desa. Tentu, ekonomi yang dimaksud merupakan ekonomi pertanian-perikanan, sebab menyangkut dengan makan-makanan. Berarti, berhubungan dengan ekonomi petani-burutani-nelayan sebagai golongan paling dasar/bawah di Desa, sebab, bahan makanan bersumber dari lahan dan tangan para petani-buruhtani-nelayan. Atas dasar hal tersebut, maka, perlu kiranya beberapa pertanyaan diajukan; Apa urgensi program Makan Bergizi? Jika bukan kemiskinan-kesejahteraan, lalu apa? Hanya soal berat badan doang? Sampai kapan program Makan Bergizi akan berjalan? Apakah petani/nelayan di setiap Desa sudah siap memproduksi bahan mentah untuk kebutuhan program Makan Bergizi? Adakah pengetahuan dan paktor penunjang produksi seperti bibit/pupuk yang baik di Desa-desa? Adakah lahan pertaniannya dan berapa luasnya? Bagaimana kepemilikan lahannya? Tersediakah sumber airnya? Bagaimana kondisi lautnya? Teknologinya? Organisasi taninya? Organisasi nelayannya? Permodalannya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas, penting diajukan agar pembaca dapat membayangkan dampak program Makan Bergizi terhadap masyarakat pedesaan (golongan termiskin), ke depan. Terlebih hari ini, dianggap oleh sebagian orang, dapat menjadi solusi untuk memperbaiki tarap hidup rakyat di Desa-desa seluruh Indonesia.
Makanan Tolak Ukur Kesejahteraan, Makan Bergizi Geratis Ukuran Apa?
Gizi, bertolak dari kualitas makanan. Mengisyaratkan kualitas basis penunjang (material) paling dasar, dalam memproduksi makanan. Seperti, kondisi tanah, kondisi air, dan kondisi udara. Tak ada gizi di luar persoalan makanan. Dan tak ada makanan selain dihasilkan dari lahan. Hal tersebut, lebih lanjut, berhubungan dengan soal kemiskinan, persoalan kesejahteraan rakyat.
“Menguasai tanah (lahan) menguasai makanan”, (M. Tauchid, 1952). Tak punya lahan berarti miskin. Miskin, berarti tak sejahtera. Itulah kiranya, suatu ukuran kesejahteraan kelasik, sebelum perkembangan industri memaksa lahirnya ukuran baru dalam persoalan kesejahteraan, ukuran upah kerja dengan segala kompleksitasnya. Kendati demikian, menyederanakan seluruh aspek kesejahteraan hanya sebatas pada persoalan upah kerja semata, merupakan hal yang tidak adil.
Setelah industri berkembang, ukuran kesejahteraan mengalami perubaan, dengan berbagai istilahnya, atas dasar standar masing-masing. Seperti, “pemenuhan standar kebutuhan pokok gizi tergantung pada imbalan kerja yang diperoleh, dan prioritas penggunaan imbalan kerja, yang mencakup “nilai ambang kecukupan pangan” (food threshold) dan menghubungkan tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran kecukupan pangan (kalori), (Sajogyo, dalam A. Mahmud, 2019). Masala tersebut, lebih kompleks lagi, sebab, “terkait penguasaan sumber agraria antar lapisan sosial, aktivitas usaha/bekerja dan pembagiannya, imbalan kerja yang diperoleh, dan arah penggunaan imbalan kerja”, (A. Mahmud, 2019). Namun, hakikatnya tidak dapat dilepas dari persoalan lahan, seperti yang digambarkan Sajogyo (1992) mengenai ciri golongan masyarakat miskin/tidak sejahtera kedalam tiga aspek: (1) jumlah pemilikan/penguasaan tanah, (2) kualitas bangunan rumah, (3) pola pangan (jenis, kualitas dan intensitas yang dikonsumsi), dan (4) tingkat pendidikan, (A. Mahmud, 2019). keempat hal tersebut, menitikberatkan pada aspek lahan dan makanan yang keduanya memiliki kelindan sangat erat, hanya satu poin (poin 4) diluar itu. Singkatnya, kesejahteraan merupakan keberlimpahan makanan atas kemudahan mengakses pokok dasar penunjang lainnya.
Semelarat-melaratnya orang, dia akan tetap bertahan hidup jika masih mendapat makannan atau dapat makan. Kiranya, demikian yang ingin dicapai oleh program Makan Bergizi Geratis Presiden Prabowo tanpa adanya aspek penunjang seperti yang telah diulas di atas. Terlebih, program Makan Bergizi tersebut, hanya diberikan satu kali, makan siang. Kondisi itu, pantasnya dijadikan sebagai program “bakti sosial” siswa/i Sekolah Dasar (SD) untuk meningkatkan kepedulian sosial. Dengan cara, memberi makan siang geratis, terhadap gelandangan jalanan, yang hidupnya atas dasar pemberian dari orang lain dan hasil memungut makanan sisa di tempat sampah.
Ya, memang, program Makan Bergizi Geratis, diperuntukan bagi pelajar tingkat Taman Kanak-kanak, hingga pelajar tingkat menengah. Lalu, jenisnya apa? Dan apakah cukup intens hanya dengan satu kali makan, untuk mencukupi kebutuan gizi anak-anak? Tak dipungkiri, sekurang-kurangnya, program tersebut, dapat memperingankan keruwetan rumah tangga para orang tua dirumah masing-masing. Tetapi, keruwetan tersebut masih akan mencekam pada waktu-waktu krusial, pagi hari dan menjelang tidur. Terutama, bagi keluarga petani lahan sempit, buruh tani yang pengasilannya berkurang akibat persoalan gagal panen, nelayan yang tak melaut karena peralatannya rentan terhadap cuaca dan bahan bakar yang semakin mahal, dan keluarga buruh pabrik yang gajinya terlambat atau bakan kena PHK.
Program-program yang menjamin hak atas pokok-pokok dasar kebutuhan hidup masyarakat miskin di Desa-desa, seyogyanya lebih didahulukan. Mestinya, tidak dapat diganggu-gugat oleh kepentingan politik berbagai kelompok, dan kepentingan bisnis siapapun. Entah tambang atau industri non-tambang lainnya. Jaminan atasa hak pokok-pokok dasar kebutuhan hidup, secara berangsur akan menghapuskan kemiskinan dan tak ada lagi anak-anak yang mengalami kekurangan gizi. Jika empat Syarat (Sajogyo), yang telah disebutkan diatas tidak menjadi prioritas dasar dari program Makan Bergizi. Maka, Makan Bergizi Geratis, hanya dapat dijadikan sebagai ukuran masyarakat melarat. “semelarat-melaratnya orang, dialah yang hanya dapat makan siang saja”.
Penutup
Program Makan Bergizi Geratis, tanpa diawali dengan program yang menjamin atas hak pokok-pokok dasar kebutuhan satuan keluarga secara utuh, mustahil menghasilkan suatu tatanan masyarakat Indonesia yang sejahtera, lahir dan batin. Mengingat situasi pedesaan hari ini, tengah mengalami krisis sosial-ekonomi-politik-ekologi yang sangat parah. Petani lahan luas beruba menjadi petani lahan sempit, petani lahan sempit menjadi buruh tani, buruh tani menjadi buruh tak tentu, oleh akibat pelepasan tanah yang disebabkan pertumbuan penduduk (tanah keluarga dibagi dengan keluarga baru), atau demi standar hidup yang terlalu tinggi, dan oleh industri-industri pertanian dan industri non-tambang lannya, hingga rayuan perusahaan tambang. Adakah kontrol? Kondisi ini, selanjutnya, diperparah oleh penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan oleh indust-indrusti tersebut. Pencemaran sungai dan laut terus meluas, mematikan penghasilan para nelayan. Kemudian banjir, longsor, dan kekeringan dimana-mana. Lagi-lagi, adakah kontrol?
Jika, pembahasan yang telah kita bahas samapi pada paraghraf ini, ditolak, dianggap berlainan dengan persoalan program Makan Bergizi Geratis. Berarti, Makan Bergizi hanyalah sebuah program politis, tidak diniatkan untuk mengurus kesejahteraan rakyat, menghapuskan kemiskinan.
Sekalipun, program Makan Bergizi Geratis, selanjutnya mulai berkembang pada pembenahan persoalan pangan di Desa-desa sebagai dampak positif program Makan Bergizi, adakah lahannya? Hampir tidak ada! Kini, banyak petani kehilangan lahannya karena hal-hal yang sebelumnya disinggung, hutan lindung dan perhutani sedikit demi sedikit digerogoti oleh perusaaan tambang, industri pertanian dan industri lannya. Kualitas tanah, kualitas air dan udara seperti sekarang, dapatkah menghasilkan makanan yang berkualitas? Hampir mustahil! Belum lagi persoalan bibit dan pupuk yang terbatas, sekalipun sudah subsidi, dan persoalan ketergantungan terhadap obat-obat pertanian yang semakin menambah beban. Sungai dan Laut yang tercemar, mengakibatkan ikan-ikan semakin jauh ke tengah lautan, menambah beban ongkos para nelayan dalam menangkap ikan, lalu-lalang kapal dan tongkang perusahaan tambang, mendesak ikan makin menjauh. Sehingga, lambat-laun, nelayan tak melaut lagi, tak dapat ikan dan menjadi kemiskin.
Jauh rasnya, Makan Bergizi dapat mensejahterakan masyarakat di Desa-desa. Sebagai, program sementarapun rasanya pesimis. Cukup berhasil, sebagai program ‘retorik politik’. Kecuali, diawali dengan pembenahan pada aspek pokok-pokok dasar kebutuhan masyarakat di Desa-desa, mungkin kondisinya akan lebih baik. Makan Bergizi, tanpa menyelesaikan persoalan kehidupan dan penghidupan yang lebih mendasar, hanyalah “omon-omon”. Memaksakannya, hanya akan menguntungkan segelintir orang, menguntungkan ‘Tikus-tikus Pedesaan’.
Referensi :
A. Mahmud, 2019. REKONSTRUKSI PEMIKIRAN SAJOGYO TENTANG KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF AGRARIA KRITIS
M. Tauchid, 1952. MASALAH AGRARIA – Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Terbitan, 2011