Disclaimer: Tulisan ini merupakan naskah Orasi Ilmiah Dr. Virtuous Setyaka, M.Si. dengan judul aslinya: “Trans-Nasionalisasi Gerakan Sosial, Institusionalisasi Hak Petani Dan Kontra-Hegemoni Global: Refleksi Kritis Perjuangan La Via Campesina Untuk United Nations Declaration On The Rights Of Peasants And Other People Working In Rural Areas (Undrop) Dalam Perspektif Coxian” yang disampaikan pada perayaan Diesnatalis FISIP Universitas Andalas Padang ke-32. Selain sebagai dosen Hubungan Internasional (HI-Unand) beliau adalah Peneliti Senior Sanggabuana Institute.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua, Om swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan.
Yang saya hormati, Rektor Universitas Andalas (Unand), Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Para guru besar, dosen, staf, mahasiswa, alumni, tenaga kependidikan dan seluruh sivitas akademika FISIP Unand yang saya cintai dan banggakan,
Pertama-tama, izinkan saya menyampaikan rasa syukur dan kehormatan yang mendalam karena diberi kesempatan untuk menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis FISIP Unand. Ini bukan hanya momentum perayaan institusi, melainkan juga ruang refleksi intelektual atas peran kita sebagai akademisi dalam merespons berbagai dinamika sosial-politik di tingkat lokal, nasional, dan global.
Dalam orasi ini, saya mengajak kita semua untuk menyelami sebuah tema besar yang jarang menjadi arus utama dalam Studi Hubungan Internasional (HI), namun justru menyimpan kekuatan epistemik dan politik yang sangat besar, yakni: perjuangan transnasional gerakan petani untuk pengakuan hak-haknya dalam sistem internasional, khususnya melalui La Via Campesina dan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Petani dan Orang Lain yang Bekerja di Pedesaan atau United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas (UNDROP).
Saya akan membacanya bukan sekadar sebagai narasi perjuangan sosial, melainkan sebagai bentuk intervensi terhadap tatanan dunia hegemonik, melalui kacamata Teori Kritis Coxian, yang menempatkan produksi, kekuatan sosial, dan tatanan dunia sebagai elemen-elemen utama dalam transformasi global.
Krisis Agraria dan Tatanan Dunia Neoliberal
Hadirin yang saya muliakan,
Krisis agraria bukanlah cerita lama yang selesai dengan kebijakan reformasi tanah atau subsidi pupuk. Ia adalah cermin dari tatanan dunia yang tidak adil, di mana produksi pangan dikuasai oleh sedikit aktor, dan jutaan petani kecil justru tersingkir dari tanahnya sendiri (McMichael, 2013). Dalam satu dekade terakhir, kita menyaksikan semakin kuatnya konsentrasi tanah, benih, dan teknologi di tangan korporasi multinasional.
Model pertanian industrial yang didorong oleh agenda neoliberalisme global—melalui kebijakan World Trade Organization (WTO), perjanjian investasi, dan hak kekayaan intelektual—telah menghapus batas antara produk pangan dan komoditas finansial (Patel, 2009). Tanah tidak lagi dipandang sebagai ruang hidup, tetapi sebagai objek kapital. Benih tidak lagi diwariskan, tetapi dipatenkan. Dan petani, terutama di Global South, kehilangan bukan hanya akses, tetapi juga kedaulatan atas hidupnya sendiri (Edelman & James, 2011). Dalam konteks ini, sistem internasional bukannya netral. Ia menjadi instrumen hegemonik, yang memfasilitasi penguatan dominasi pasar bebas, mereduksi hak menjadi privilege yang bisa dinegosiasikan di meja kekuasaan, dan menyingkirkan aktor-aktor akar rumput dari diskursus politik global (Borras & Franco, 2010).
Namun, dalam situasi seperti inilah muncul titik balik sejarah. Ketika sistem dominan gagal memberi keadilan, maka gerakan sosial menjadi kekuatan politik alternatif. Dari tanah-tanah yang diinjak petani miskin di Chiapas, Kerala, Cuzco, hingga Banten, lahirlah konfigurasi kekuatan sosial baru yang tidak lagi dibatasi oleh batas negara, melainkan disatukan oleh kesadaran kolektif: bahwa pangan adalah hak, dan petani adalah subjek politik global.
Krisis pangan global membongkar wajah eksploitatif sistem pangan global kapitalistik neoliberalisme dan mempertegas urgensi pengakuan hak asasi petani. Salah satu artikulasi paling kuat dari kesadaran ini adalah La Via Campesina—sebuah organisasi gerakan tani global yang kini mewakili lebih dari 200 juta petani kecil dari lebih 80 negara (Desmarais, 2007).
La Via Campesina dan Aksi Transnasional: Petani sebagai Subjek Politik Global
Nama La Via Campesina berarti “Jalan Petani”. Bukan tanpa makna ia menggunakan kata “jalan”—karena ini bukan hanya organisasi, tetapi juga jalan politik alternatif, jalan panjang menuju pengakuan, keadilan, dan transformasi tatanan global (Martinez-Torres & Rosset, 2010).
Didirikan pada tahun 1993 di Belgia oleh aliansi petani dari Amerika Latin, Asia, Afrika, dan Eropa, La Via Campesina tumbuh menjadi organisasi gerakan petani paling berpengaruh di dunia. Tapi kekuatan utamanya bukan hanya pada jumlah atau jaringan. Kekuatan utamanya adalah kemampuannya untuk menghubungkan pengalaman lokal petani dengan struktur global yang menindas mereka (Edelman & Borras, 2016).
Di tengah sistem internasional yang dikuasai oleh elit negara dan korporasi, La Via Campesina hadir sebagai subjek politik yang otonom dan terorganisir. Ia membawa isu-isu seperti reforma agraria, hak atas benih, kedaulatan pangan, dan hak kolektif komunitas adat ke ruang-ruang diplomasi internasional. Lebih dari sekadar lobi, ini adalah bentuk dari apa yang disebut sebagai “diplomasi akar rumput”—strategi transnasionalisasi yang dilakukan oleh gerakan sosial, dari bawah ke atas.
Dalam ruang seperti FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB), UNHRC (Dewan Hak Asasi Manusia), hingga Majelis Umum PBB, La Via Campesina tidak hanya menyampaikan tuntutan, tetapi juga mengintervensi wacana global tentang siapa yang punya hak untuk menentukan arah pembangunan. Mereka hadir sebagai intelektual kolektif, berbicara dari bawah, bukan dari atas (Claeys, 2015).
Mereka bukan datang sebagai korban. Mereka datang sebagai pemikir politik kolektif. Sebagai intelektual organik dalam pengertian Gramsci—yakni mereka yang berbicara bukan dari menara gading, tetapi dari sawah, ladang, dan pasar rakyat. Inilah kekuatan yang seringkali dilupakan oleh Teori Hubungan Internasional konvensional.
UNDROP: Dari Akar Rumput ke Institusi Global
Puncak dari strategi transnasional La Via Campesina adalah proses panjang yang berujung pada adopsi Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Petani dan Orang Lain yang Bekerja di Pedesaan, atau yang kita kenal sebagai UNDROP, pada tanggal 17 Desember 2018 oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi 73/165. Sebelumnya telah diadopsi oleh Dewan HAM PBB di Jenewa pada 28 September 2018 (Resolusi A/HRC/RES/39/12) dalam voting dengan hasil 122 negara setuju, 8 menolak, 54 abstain.
Proses ini bukan instan. Ia dimulai sejak tahun 2008 ketika Bolivia, sebagai negara sponsor pertama, bersama La Via Campesina dan jaringan non-governemnetal organization (NGO) seperti FIAN dan CETIM, mulai mendorong dibentuknya kelompok kerja antarpemerintah di Dewan HAM PBB (FIAN International, 2019).
Tonggak sejarah politik ini dapat ditelusuri kembali ke Indonesia, ketika pada tahun 2001 Serikat Petani Indonesia (SPI) menyelenggarakan Konferensi Nasional Pembaruan Agraria di Cibubur, yang menghasilkan Deklarasi Hak Asasi Petani Indonesia. Deklarasi ini kemudian menjadi fondasi konseptual dan politik dari UNDROP. Bahkan, sesungguhnya dimulai dari kesadaran petani Indonesia sejak tahun 1990-an terhadap maraknya pelanggaran hak atas tanah dan sumber daya (Serikat Petani Indonesia, 2019). SPI membawa inisiatif ini ke pertemuan La Via Campesina Asia Tenggara dan Asia Timur pada tahun 2002, dan dari sana isu ini mulai mengglobal.
Tahun-tahun setelahnya ditandai dengan proses internasionalisasi berkelanjutan, termasuk pengajuan resmi ke Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 2004, 2006, dan 2008. Konferensi Internasional Hak Asasi Petani tahun 2008 di Jakarta menjadi titik balik yang memperluas dukungan global secara signifikan. Lebih jauh, krisis pangan global 2007–2008 memberikan momentum strategis bagi La Via Campesina dan SPI untuk terlibat dalam High-Level Panel on the Global Food Crisis PBB dan menyerukan reformasi struktural berbasis hak-hak petani (FIAN International, 2019).
Pada tahun 2012, Dewan HAM PBB memberikan mandat pembentukan kelompok kerja antarpemerintah (A/HRC/RES/21/19), yang menyelenggarakan lima sesi negosiasi formal dari tahun 2013 hingga 2018. Selama proses ini, muncul resistensi atau penolakan kuat dari negara-negara blok Utara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia; perlawanan dari aktor-aktor korporasi multinasional yang tak ingin benih dianggap sebagai hak kolektif; dan kritik legalistik tertentu dan tarik-ulur diplomatik terhadap penggunaan istilah “hak” dalam konteks pangan dan pertanian (Claeys & Edelman, 2019). Namun dengan dukungan konsisten dan aliansi strategis antara negara Global South dan terutama Bolivia, Indonesia, Afrika Selatan, Venezuela, India, Mesir, Aljazair, dan Filipina—serta mobilisasi terus-menerus dari organisasi akar rumput, akhirnya UNDROP diadopsi oleh 121 negara anggota.
Deklarasi ini mencakup hak atas tanah, air, benih, pendidikan, keanekaragaman budaya, hingga hak untuk menentukan sistem pangan sendiri (Claeys & Edelman, 2019)— terdiri dari 28 pasal, termasuk: perlindungan sosial, lingkungan hidup sehat. Penekanan pada nondiskriminasi, partisipasi, dan pengakuan terhadap hak kolektif komunitas adat. Serta kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak petani (Serikat Petani Indonesia, 2019).
UNDROP menjadi sebuah bentuk institusionalisasi norma dari bawah, yang lahir bukan dari meja kekuasaan, tapi dari lorong pasar, lumbung desa, dan suara rakyat kecil. Pencapaian bersejarah ini menegaskan bahwa norma internasional dapat dirumuskan dan diinstitusionalisasikan dari bawah, bukan berasal dari agenda diplomatik elite, tetapi dari gerakan petani lokal dan perjuangan sehari-hari mereka (FIAN International, 2019). UNDROP bukan hanya dokumen. Ia adalah peristiwa politik global yang menandai bahwa gerakan sosial dapat memasuki ruang formal kekuasaan internasional, dan menuliskan hak-haknya sendiri dalam bahasa hukum dunia.
Selengkapnya ..