Narasi – Analisis : “Parung” adalah keseharian, praktek hidup dan masadepan perut anak bini penangkap Impun
Mukaddimah
“Parung”, sebuah istilah sederhana, istilah Kampung mengenai jenis dan bentuk suatu aliran pada Sungai. Dahulu, istilah ini sering dituturkan oleh orang-orang di Kampung-Kampung. Seiring dengan pergesran mata pencaharian warga Kampung, pada “akses” yang lain, semakin sedikit Orang Kampung terlibat dengan Sungai untuk mencukupi kebutuhan hari-hari. Menyebabkan, istilah “parung” semakin asing. Bahkan, di Kampung itu sendiri. Sebagian kecil warga Kampung, masih menggantungkan hidup pada Sungai, hanya segelintir saja. Bagi orang-orang tersebut, “Parung” bukan hanya sebuah istilah. “Parung” adalah keseharian, praktek hidup dan masadepan perut anak bini penangkap Impun.
Bagi mayoritas warga Kampung hari ini, Sungai dijadikan pilihan terakhir pada musim kering. Dimana lembaran rupiah tak mampu menyulap dirinya yang kertas itu, menjadi se-ember Air di Kamar Mandi, atau se-gelas Air di dalam Teko. Karena, sulit Air atau karena mengontrol tabungan. Seperti yang terjadi dibeberapa Kampung di wilayah Selatan Lebak. Parung-parung akan ramai pada masa sulit Air.
Diluar musim kering, parung-parung kembali sepi. Menyisakan gemerincik air pada parung yang ringkik, desis angin yang menerpa pepohonan, kicau burung yang tak lagi berwarna dan gurauan penangkap Impun yang kian menyepi.
Parung?
Pada badan Daerah Aliran Sungai (DAS), “Parung” merupakan bagian/bidang dangkal (memiliki kemiringan tertentu) pada badan DAS, sebagai batas antara cekungan dalam badan DAS, atau disebut “Leuwui” Oleh Orang di Kampung-Kampung. Dicirikan dengan tonjolan material lepasan Krikil, brangkal, boulder – lapisan batuan pada permukaan air Sungai, sehingga menyebabkan riak gelombang, rincik air atau “Ngageureng”. Pada dasarnya, “Parung” salah satu aspek dalam hakikat Sungai, Kodrat Sungai. Sebab, setiap Sungai pasti memiliki “Parung”. Tiada Sungai yang tidak memiliki “Parung”. Itulah bunyi Kodratnya, sejak masa “Abrakadabra”.
Parung-parung Penting Di Hilir Sungai Cihara
Ada yang luput dalam benak kita semua, selepas menikmati betapa “peuleumnya”/enaknya Impun pada suapan terakhir setelah sarapan, “ngawadang” (makan siang), atau makan malam. Apa itu?. Yang terlupakan itu adalah, Parung-parung dimana Buwu-buwu dipasang, sehingga Impun bisa sampai dikerongkongan Manusia.

Foto suarasanggabuana.org : Alat tangkap Impun tradisional (Buwu), milik Pak Khotib, yang terpasang di Parung Dahu, pada saat proses menangkap Impun. Juli 2023
Barang siapa, yang pernah menukar Impun dengan kertas (Uang) di muara Cihara (jembatan dua), kemudian setelahnya, dapat menikmati lezatnya Impun. Wajib berterimakasih kepada Parung-parung serta pada si penangkap Impun. Perlu diingat, bahwa, Impun yang rasanya lezat itu, umumnya didapatkan dari Parung Dahu, Parung Kalam dan Parung Suwakan di Sungai Cihara. Ketiga Parung ini, terletak di hilir Sungai Cihara.
Pada bulan Juli Tahun 2023, ada 10 (sepuluh) Orang penangkap Impun tetap di Parung Dahu, Parung Kalam, Parung Suwakan yang rutin menangkap Impun, setiap musimnya dengan menggunakan Buwu. Semua penangkap Impun tersebut, seluruhnya adalah warga Kampung Cicatang. Setiap tahunnya, sejak Bulan Rajab – Muharram, hariannya beraktivitas dari Rumah ke Parung dan dari Parung Kerumah. Kecuali, ada keperluan lain yang amat mendesak. Setiap orang dari mereka terbagi kedalam wilayah tangkapnya masing-masing, tanpa rapat, meeting, atau pertemuan formal lainnya. Ini merupakan contoh kerukunan yang tidak kalah Pancasilaisnya dari manusia Pancasila lainnya. Atau, contoh kesalehan manusia religius yang tidak kalah “Agamais” dari manusia yang merasa paling beragama.
Di Parung Dahu, terdapat 5 Orang penangkap Impun tetap, yaitu; Adlani, Herman, Khotib, Muhalim dan Udi. Sedangkan di Parung Kalam, terdapat 3 Orang penangkap Impun Tetap, yaitu; Ata, Jae dan Rohani. Adapun, penangkap Impun tetap di Parung Suwakan ada 2 Orang, yaitu; Ahmad dan Sadun. Perlu diingat Kembali, semua penangkap Impun tersebut adalah warga Kampung Cicatang.

Foto suarasanggabuana.org : Para penangkap impun sedang melihat Impun masuk ke dalam Buwunya. Juli 2023
Menurut Pak Adlani (18 Juli 2023 – Selasa Malam), “penghasilan mereka semua, jika dirata-ratakan mencapai Rp. 1.000.000, setiap bulannya”. Berarti, dalam satu musim rata-rata penghasilan mereka dari hasil menangkap Impun adalah Rp. 7.000.000. Angka ini, masih jauh dari penghasilan mereka pada tahun 2016 ke belakang. Walaupun, penghasilannya mengalami peningkatan dari tahun 2017 hingga tahun 2022.
***
Refleksi : Parung Sebagai Pengetahuan
Adakah muncul Parung Dahu, Parung Kalam dan Parung Suwakan, pada setiap “Khayat” ketiaka kita menghayati proses melahap Impun. Atau memang, kita semua tidak pernah menghayati proses Makan. Sungguh, “Allahumma Barik Lana…” yang Cuma-cuma.

Foto suarasanggabuana.org : Impun hasil tangkapan Buwu yang sudah dijual ke pengepul (Bajong), sudah dibersihkan dan siap jual. Juli 2023
Tanpa Parung Dahu, Parung Kalam dan Parung Suwakan, Buwu tidak bisa dipasang. Tanpa Buwu di Parung-parung itu, Impun dari Sungai Cihara sedikit yang bisa ditangkap. Sebab, alat tangkap tradisional lain, tidak lebih banyak menghasilkan Impun dibandingkan Buwu, dengan kondisi Sungai Cihara seperti sekarang ini. Sebelum tahun 2000 an, mungkin bisa. Ketika, Kondisi Sungai Cihara belum mengalami pemburukan – tercemar.
Membahas Parung, mungkin terdengar tak menarik, boleh jadi dianggap kurang akademik, kurang keren, atau kurang sepadan dengan gelar di belakang nama. Terlepas dari itu semua, semoga pembahasan mengenai pengetahuan yang kampungan ini, tidak mengganggu kualitas akademik saudara.
Mengenai Parung-parung di Hilir Sungai Cihara; Parung Dahu, Parung Kalam dan Parung Suwakan, merupakan Tata Sungai Cihara, yang telah ada bersamaan dengan terbentuknya Sungai Cihara. Parung-parung ini, adalah bagian dari Sungai Cihara dalam Kodratnya.
Hubungan antara Orang Cicatang dan Parung-parung di atas, melahirkan “Tata Guna” hilir Sungai Cihara, yang Lahir dari Kodrat Sungai itu sendiri. Disini posisi Parung, disebelah sana adalah “Leuwi”, atau disana letak tanggul Sungai, dan lain sebagainya, misal. Istilah-istilah ini muncul, sesuai dengan pungsi-pungsi masing-masing di dalam Sungai, sebagai satu kesatuan yang utuh. Kemudian berkembang, menjadi “Tata Kelola” Impun, di hilir Sungai Cihara. Selanjutnya, melahirkan model atau pola “Prosumsi” (Produksi konsumsi) Orang-orang yang hidp di hilir Sungai Cihara, contohnya Orang Cicatang (penangkap Impun).
Apakah perkara “Parung” kurang strategis untuk dibahas? Persoalan “Parung”, tidak kalah strategis dibandingkan dengan membahas program PKH, yang secara tidak sadar dianggap sebagai solusi yang solutif, dalam agenda pemerintah mensejahtrakan rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seharusnya, memperjuangkan “keberlangsungan” Parung-parung di hilir Sungai Cihara atau seluruh Parung-parung di sekujur Sungai Cihara, lebih “Politis” dibanding dengan membahas persoalan “Komunis”. Sebab, di Parung-parung inilah, Perut seluruh anggota keluarga Penangkap Impun digantungkan. Solusi, kesejahteraan bagi Penangkpa Impun bahkan Orang-orang selainnya, adalah kondisi Parung-parung di Sungai Cihara.
Penulis : Ali Al-Fatih