Dua tokoh akbar dalam sejarah politik yang memberikan perspektif mengenai negara merupakan Thomas Hobbes dan Ibnu Khaldun. Keduanya lahir pada zaman dan loka yg sangat tidak selaras—Hobbes hayati pada Eropa abad ke-17 yang penuh permasalahan politik, sementara Ibnu Khaldun merupakan seorang ilmuwan Muslim abad ke-14 yang tumbuh pada tengah dinamika sosial-politik global Islam. Artikel ini akan membandingkan konsep negara yang diusung sang keduanya, mulai berdasarkan asal-usul negara, tujuan, sampai tantangan yang dihadapi.
Thomas Hobbes dikenal menjadi bapak kontrak sosial. Ia hayati pada masa perang saudara pada Inggris, yang mempengaruhi pandangannya terhadap insan dan pentingnya negara. Karya utamanya, Leviathan, menyebutkan bagaimana kekuasaan mutlak diharapkan buat mencegah insan pulang ke keadaan alami yang penuh kekacauan.
Sebaliknya, Ibnu Khaldun merupakan seorang pemikir Muslim yang mendalami sosiologi, sejarah, dan politik. Dalam Muqaddimah, beliau menyebutkan teori mengenai daur dinasti dan pentingnya solidaritas sosial (asabiyyah) pada pembentukan negara. Ibnu Khaldun melihat negara menjadi kenyataan alamiah yang timbul berdasarkan kebutuhan insan buat hayati bermasyarakat.
Pandangan Tentang Hakikat Manusia
Hobbes mempunyai pandangan yang pesimistis terhadap insan. Ia percaya bahwa pada keadaan alami, insan bersifat egois, kompetitif, dan berpotensi permasalahan. Dalam syarat tanpa aturan, insan hayati pada “keadaan perang seluruh melawan seluruh,” yang menciptakan kehidupan sebagai “nasty, brutish, and short.” Oleh lantaran itu, negara diharapkan menjadi otoritas yang bertenaga buat mengendalikan insting destruktif insan.
Ibnu Khaldun, pada sisi lain, mempunyai pandangan yang lebih seimbang. Ia melihat insan menjadi makhluk sosial yang membutuhkan kolaborasi buat bertahan hayati. Meski demikian, Ibnu Khaldun menyadari bahwa insan mempunyai kesamaan untuk mencari laba pribadi, yang bisa mengakibatkan ketegangan sosial apabila tidak diatur menggunakan baik.
Asal-usul Negara
Menurut Hobbes, negara merupakan output kontrak sosial pada mana individu menyerahkan sebagian kebebasan mereka pada penguasa demi keamanan dan ketertiban. Negara merupakan konstruksi protesis insan yang bertujuan menghindari anarki.
Ibnu Khaldun melihat negara menjadi output berdasarkan dinamika sosial yang alami. Ia percaya bahwa negara timbul berdasarkan kebutuhan insan buat hayati beserta dan mengatur interaksi sosial. Solidaritas sosial (asabiyyah) merupakan fondasi primer bagi pembentukan negara. Kelompok menggunakan solidaritas yg bertenaga sanggup mendirikan kekuasaan yg stabil.
Konsep Kekuasaan
Hobbes menekankan pentingnya kekuasaan mutlak buat menjaga stabilitas. Penguasa, yang diklaim Leviathan, mempunyai otoritas penuh atas rakyatnya. Meski demikian, kekuasaan ini bukan bersifat ilahiah, melainkan output konvensi insan.
Ibnu Khaldun melihat kekuasaan menjadi jujur yang lahir berdasarkan asabiyyah. Kekuasaan tidak bisa dipisahkan berdasarkan nilai-nilai moral dan agama. Ibnu Khaldun pula mencatat bahwa kekuasaan cenderung sebagai korup seiring waktu
Relevansi Pemikiran Hobbes dan Ibnu Khaldun pada Masa kini
Meskipun lahir di era yang tidak sinkron, pemikiran Hobbes dan Ibnu Khaldun permanen relevan buat tahu dinamika politik serta pemerintahan terkini. Pandangan Hobbes wacana perlunya otoritas yg kuat sebagai relevan dalam konteks negara-negara yg menghadapi ancaman anarki atau permasalahan internal. kebalikannya, analisis Ibnu Khaldun wacana ‘asabiyyah dan siklus kehidupan negara dapat digunakan buat tahu naik turunnya kekuasaan dan dinamika sosial-politik dalam warga terkini.
kesimpulan
Perbandingan antara konsep negara menurut Thomas Hobbes dan Ibnu Khaldun mencerminkan disparitas dalam latar belakang filosofis, nilai, dan konteks sejarah masing-masing. Hobbes melihat negara sebagai akibat kontrak sosial yang lahir asal kebutuhan buat menghindari anarki. Dia menekankan pentingnya kekuasaan pasti buat menciptakan stabilitas. Pandangannya cenderung sekuler serta fokus di aspek duniawi negara. sebaliknya, Ibnu Khaldun melihat negara menjadi fenomena alami yang muncul asal dinamika sosial serta asabiyyah. Ia menekankan pentingnya moralitas, keadilan, serta kepercayaan dalam kehidupan negara. Kedua pemikir ini memberikan wawasan yang berharga perihal bagaimana negara dapat dibuat serta dipertahankan.
Pandangan Hobbes relevan pada konteks terkini yang menekankan stabilitas dan hak individu, sementara Ibnu Khaldun menunjukkan perspektif yang memperhatikan hubungan antara nilai-nilai sosial, agama, serta kekuasaan. Meski tidak sama, keduanya setuju bahwa negara adalah kebutuhan fundamental buat mengatur kehidupan manusia. Dengan menggunakan pandangan Hobbes serta Ibnu Khaldun, kita bisa memperoleh wawasan yang lebih kaya dinamika kekuasaan, legitimasi, serta keberlanjutan negara, sekaligus menyadari pentingnya menjaga ekuilibrium antara stabilitas politik, solidaritas sosial, serta keadilan ekonomi.
Penulis: Siti Maryam Salsabiil (Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia)