Penulis Adalah Agis Salwa, Mahasiswa Administrasi Publik Univesitas Bina Bangsa.
Pak Jaya, seorang warga asli Kecamatan Citangkil, telah menjalani kehidupan yang penuh tantangan sejak beberapa tahun terakhir. Sebagai seorang buruh di kawasan industri yang berkembang pesat di Kota Cilegon, ia awalnya berharap kebijakan pemerintah kota yang mendukung pertumbuhan industri akan membawa kesejahteraan bagi keluarganya.
Namun, kenyataan yang dihadapinya justru sebaliknya.
Pemerintah Kota Cilegon memang gencar mengembangkan kawasan industri dengan harapan dapat meningkatkan lapangan kerja dan perekonomian masyarakat sekitar. Kebijakan ini berhasil membuka beberapa peluang kerja, tetapi bagi Pak Jaya, persaingan dengan tenaga kerja pendatang dari luar kota dan bahkan luar negeri membuatnya sulit mendapatkan
pekerjaan yang layak. Banyak posisi yang sebelumnya bisa diisi warga lokal kini lebih banyak diisi oleh pekerja asing, terutama dari Korea, yang masuk melalui investasi besar di kawasan industri.
Selain itu, dampak negatif dari keberadaan industri yang tidak sepenuhnya diantisipasi oleh pemerintah mulai dirasakan oleh Pak Jaya dan warga lain. Lingkungan sekitar tempat tinggalnya menjadi tercemar, dengan polusi udara dan air yang semakin parah akibat limbah industri. Kondisi ini menyebabkan kesehatan keluarganya menurun, sementara biaya
pengobatan yang harus ditanggung semakin membebani ekonomi mereka. Polusi dan kemacetan lalu lintas yang meningkat juga memperburuk kualitas hidup sehari-hari.
Kebijakan efisiensi anggaran yang dijalankan pemerintah kota juga berdampak pada pelayanan publik yang sangat dibutuhkan oleh Pak Jaya dan keluarganya. Misalnya, pengurangan anggaran di sektor kesehatan dan pendidikan membuat akses terhadap layanan tersebut menjadi terbatas dan kurang optimal. Pak Jaya merasakan sulitnya mendapatkan
fasilitas kesehatan yang memadai dan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya, yang pada akhirnya menghambat peningkatan kualitas hidup mereka.
Warga Ciwandan dan Citangkil: Hidup dalam Kepungan Polusi
Siti, ibu rumah tangga di Citangkil, mengaku sejak pabrik-pabrik besar berdiri, keluarganya sering terkena ISPA. “Anak saya sering batuk-batuk, kadang sampai harus ke puskesmas. Udara di sini sudah tidak bersih lagi, bau kimia sering tercium,” keluhnya. Pak Jaya, buruh pabrik yang sudah 15 tahun bekerja di Cilegon, merasa makin sulit mendapat pekerjaan tetap. “Sekarang banyak pekerja dari luar, bahkan dari luar negeri. Kami yang orang sini kalah saing. Dulu, mudah cari kerja, sekarang harus punya sertifikat ini-itu,” ujarnya. Rina, pedagang warung di sekitar kawasan industri, mengeluhkan harga kebutuhan pokok yang naik seiring banyaknya pendatang dan proyek besar. “Harga tanah naik, sewa kios naik, tapi pembeli tetap sedikit. Kami makin sulit bertahan,” katanya.
Meski pemerintah Kota Cilegon telah meluncurkan berbagai program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan UMKM, Pak Jaya merasa belum sepenuhnya merasakan manfaatnya. Bantuan modal usaha dan pelatihan keterampilan yang diberikan lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat yang sudah memiliki akses lebih baik, sementara
dirinya yang berstatus buruh dan tinggal di lingkungan yang kurang berkembang masih berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
Kisah Pak Jaya mencerminkan sisi lain dari pembangunan dan kebijakan pemerintah, meskipun bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam pelaksanaannya belum mampu mengatasi ketimpangan sosial dan dampak lingkungan yang serius. Hidupnya yang seharusnya bisa lebih baik justru terhambat oleh kebijakan yang kurang berpihak pada
kelompok rentan dan kurangnya perhatian terhadap dampak sosial dan lingkungan dari perkembangan industri di Kota Cilegon.