Penulis adalah Nafisha Tu Najla mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
Sistem pemerintahan adalah fondasi yang menopang bagaimana sebuah negara dijalankan mulai dari cara kekuasaan didistribusikan, siapa yang berwenang membuat keputusan, hingga bagaimana kebijakan publik dirancang dan dijalankan. Dalam konteks Indonesia, sistem pemerintahan bukan hanya sekadar mekanisme administratif, tetapi juga cerminan dari semangat kemerdekaan, nilai-nilai konstitusi, serta aspirasi rakyat yang majemuk.
Sebagai negara yang telah mengalami berbagai dinamika politik sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945, Indonesia menjadi salah satu contoh menarik dalam memahami bagaimana sistem pemerintahan diuji oleh sejarah dan realitas sosial. Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, menganut sistem pemerintahan presidensial yang telah melewati serangkaian evolusi sejak kemerdekaannya pada tahun 1945. Namun di tengah berbagai reformasi dan perubahan yang telah dilakukan, pertanyaan fundamental tetap muncul: apakah sistem pemerintahan Indonesia sudah ideal dan relevan dengan kondisi masyarakat saat ini?
Namun, meskipun kini Indonesia secara formal telah menetapkan sistem presidensial sebagai pilihan tetap, masih banyak tantangan mendasar yang dihadapi. Banyak pihak mulai mempertanyakan: apakah sistem yang kita pakai sekarang benar-benar mampu mewakili nilai-nilai demokrasi yang kita cita-citakan? Ataukah hanya menjadi alat bagi segelintir elite untuk menguasai proses-proses politik dan ekonomi secara sistematis?
Dalam praktiknya, sistem pemerintahan presidensial Indonesia ternyata belum sepenuhnya membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Ketimpangan antara idealisme konstitusi dan realitas di lapangan begitu mencolok. Pemilu langsung yang sejatinya menjadi simbol kedaulatan rakyat justru sering dikaburkan oleh kekuatan modal, politik identitas, dan permainan oligarki. Lembaga legislatif yang semestinya menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan eksekutif, dalam beberapa kasus justru menjelma menjadi perpanjangan tangan kekuasaan atau bahkan sarang kepentingan pribadi dan kelompok.
Sejarah Dinamis Sistem Pemerintahan Indonesia
Sejak merdeka, Indonesia tidak langsung stabil dengan satu sistem pemerintahan. Perjalanan panjang telah dilalui dengan berbagai eksperimen konstitusional:
- 1945–1949 (Presidensial Awal)
Pemerintahan Indonesia dimulai dengan sistem presidensial berdasarkan UUD 1945. Presiden Soekarno memegang kendali pemerintahan dan negara, namun kondisi perang kemerdekaan menantang stabilitas sistem ini.
- 1949–1950 (Republik Indonesia Serikat)
Sistem berubah menjadi parlementer semu setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), namun hanya bertahan singkat karena dianggap tidak sesuai dengan kultur politik Indonesia yang saat itu belum mapan.
- 1950–1959 (Parlementer)
Indonesia resmi menganut sistem parlementer. Presiden hanya sebagai kepala negara, sedangkan perdana menteri menjalankan pemerintahan. Namun sistem ini dinilai tidak efektif karena kabinet silih berganti dan tidak stabil.
- 1959–1966 (Presidensial Orde Lama)
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kembali ke presidensial. Namun dalam praktiknya, Soekarno menerapkan “Demokrasi Terpimpin” yang cenderung otoriter.
- 1998–sekarang (Era Reformasi)
Reformasi membawa angin perubahan: amandemen UUD 1945, pemilu langsung presiden, dan penguatan lembaga legislatif. Sistem presidensial dikokohkan kembali, namun kini dalam bingkai demokrasi konstitusional.
Sistem Presidensial: Antara Kekuatan dan Kerentanan
Sistem pemerintahan presidensial Indonesia memberikan kekuasaan eksekutif yang besar kepada presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sistem ini memiliki sejumlah keunggulan:
- Stabilitas Eksekutif
Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu. Ia tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, sehingga memungkinkan pemerintahan yang lebih stabil.
- Kepemimpinan Tunggal
Tidak adanya dualisme kepemimpinan (seperti dalam sistem parlementer yang mengenal perdana menteri) menjadikan tanggung jawab pemerintahan lebih jelas dan terpusat.
- Pemilu Langsung dan Mandat Rakyat
Sistem ini memberikan legitimasi kuat kepada presiden karena dipilih langsung oleh rakyat, bukan oleh partai politik di parlemen.
Namun di sisi lain, sistem ini juga rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan jika tidak dibarengi dengan check and balance yang kuat. Dalam praktiknya, beberapa tantangan muncul:
- Oligarki dan Koalisi Transaksional
Presiden, meskipun dipilih langsung, tetap membutuhkan dukungan politik di parlemen untuk menjalankan program pemerintahannya. Hal ini melahirkan politik koalisi yang sarat dengan kompromi dan kadang berbau transaksional.
- Minimnya Akuntabilitas Eksekutif
Ketiadaan mekanisme parlementer seperti mosi tidak percaya membuat presiden cenderung leluasa, bahkan dalam kasus kesalahan kebijakan besar.
- Presidensialisme Tanpa Etika Politik
Sistem ini rentan disalahgunakan untuk mengonsolidasi kekuasaan jangka panjang melalui rekayasa hukum, pelemahan oposisi, atau kooptasi lembaga-lembaga negara.
Apakah Sistem Pemerintahan Indonesia Masih Relevan?
Melihat perkembangan politik saat ini, relevansi sistem presidensial Indonesia dipertanyakan oleh banyak pihak. Sistem yang ideal secara konstitusional ternyata belum mampu menjawab krisis kepercayaan publik, korupsi, hingga stagnasi kebijakan. Ketimpangan sosial yang masih menganga, kebijakan yang sering tidak berpihak pada rakyat kecil, serta kebebasan sipil yang tergerus perlahan, semua menjadi indikator bahwa sistem presidensial belum sepenuhnya dijalankan dengan nilai-nilai demokrasi substantif.
Padahal dalam Pancasila dan UUD 1945, keadilan sosial dan kedaulatan rakyat adalah pondasi utama sistem bernegara. Tetapi dalam praktiknya, kekuasaan cenderung tersentralisasi di elit politik. Rakyat seringkali hanya “pemilih” setiap lima tahun, bukan “penguasa” sejati dalam sistem demokrasi.
Jalan Tengah: Memperbaiki Bukan Mengganti
Apakah kita perlu mengganti sistem pemerintahan? Tidak harus. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya. Yang lebih mendesak justru adalah memperbaiki sistem yang ada. Seperti kata bijak, “tidak ada sistem yang terbaik, tapi selalu ada pelaksanaan yang bisa diperbaiki.” Beberapa rekomendasi yang bisa dipertimbangkan untuk memperbaiki sistem presidensial Indonesia:
- Penguatan Lembaga Pengawas
Lembaga seperti DPR, BPK, KPK, dan Mahkamah Konstitusi harus benar-benar independen, bukan menjadi alat politik penguasa.
- Reformasi Partai Politik
Demokrasi yang sehat hanya mungkin lahir dari partai politik yang sehat pula. Rekrutmen kader harus berbasis kompetensi, bukan uang atau kedekatan.
- Pendidikan Politik Masyarakat
Rakyat harus lebih dari sekadar pemilih. Mereka perlu diedukasi untuk menjadi pengawas aktif kebijakan publik dan partisipatif dalam pengambilan keputusan.
- Penerapan Transparansi dan Akuntabilitas
Pemerintah harus membuka akses informasi, anggaran, dan pengambilan keputusan kepada publik secara luas.
- Menjaga Etika Kekuasaan
Pemimpin negara harus menjadikan jabatan sebagai amanah, bukan sarana memperkaya diri atau kelompok. Integritas moral harus menjadi prasyarat utama, bukan hanya elektabilitas.
Penutup: Mengubah atau Berubah?
Di tengah segala kelebihan dan kelemahannya, sistem pemerintahan presidensial di Indonesia masih memiliki tempatnya. Namun sistem hanyalah kerangka; yang menentukan keberhasilannya adalah pelaku di dalamnya. Apakah kita harus mengubah sistem pemerintahan? Atau cukup mengubah perilaku politik dan tata kelola yang ada? Mungkin jawabannya ada pada dua kata: “kesadaran kolektif.” Kesadaran bahwa kekuasaan bukan tujuan, melainkan alat untuk mewujudkan keadilan sosial. Kesadaran bahwa demokrasi bukan hanya prosedural, tetapi juga substansial. Dan kesadaran bahwa sistem sebaik apapun tak akan berarti jika dijalankan oleh orang-orang yang tidak amanah.
Kini saatnya kita tidak hanya menuntut perubahan dari sistem, tetapi juga dari diri kita sebagai warga negara. Dari ruang kelas hingga ruang publik, dari bilik suara hingga kantor legislatif, mari kita rawat demokrasi ini dengan akal sehat, kejujuran, dan semangat gotong royong. Sebab pada akhirnya, bukan sistem yang menyelamatkan kita, melainkan sikap dan moralitas kita dalam menjalankan sistem tersebut.