Penulis : Zepanya Manurung Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Bina Bangsa
Pekerja penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala dalam mengakses pasar kerja dan mempertahankan pekerjaan. Bagi mereka, pekerjaan layak masih sebatas angan-angan saja. Berbagai macam rintangan harus mereka rasakan, di samping sulitnya mencari pekerjaan saat ini, mereka juga memiliki masalah personal yang semakin membuat kesulitan dalam dunia pekerjaan, ditambah lagi kondisi lingkungan yang tidak sepenuhnya mendukung mereka dalam menentukan jalan mereka sendiri. Disamping itu, pemberi kerja juga masih mengalami kesulitan dalam menempatkan posisi pekerjaan untuk penyandang disabilitas. Maka dari itu, untuk meningkatkan kesempatan kerja penyandang disabilitas, perlu disusun peraturan pemerintah yang inklusif serta mencakup perlindungan sosial.
Berdasarkan laporan BPS, jumlah pekerja penyandang disabilitas di Indonesia pada tahun 2020, diperkirakan mencapai 7,9 juta dari 17,74 juta penyandang disabilitas di bidang pekerjaan. Lama sekolah penyandang disabilitas hanya lima tahun, dan banyak yang tidak selesai di bangku SEKOLAH DASAR. Sehingga menurunkan nilai mereka di mata pemberi kerja. Praktik diskriminasi masih sering terjadi pada penyandang disabilitas yang bekerja, upah yang mereka dapat merupakan salah satu contohnya. Data SAKERNAS 2020 menyebutkan bahwa 70% pekerja disabilitas menerima upah dibawah Rp 1 juta/bulan.
Pembahasan
Beberapa kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah, namun implementasi nya justru belum maksimal. Ada banyak kebijakan yang mempengaruhi ketenagakerjaan penyandang disabilitas di Indonesia, seperti kebijakan peningkatan keterampilan kerja, pembentukan kantor penasihat bagi pemberi kerja, dan kebijakan kuota rendah. Kebijakan kuota rendah ini disetujui pemerintah melalui UU Pasal 53 no.8 tahun 2016 mensyaratkan lebih dari 2% perusahaan publik (Administrasi Negara/BUMN/BUMD) dan paling sedikit 1% perusahaan swasta wajib mempekerjakan penyandang disabilitas. Namun kebijakan tersebut tidak membuahkan hasil yang baik dari segi kinerja.
Data SAKERNAS (2020) menunjukkan bahwa sekedar 21% pekerja penyandang disabilitas yang bekerja di sektor formal, Sementara itu 79% sisanya masuk dalam kategori pekerja informal (bekerja tanpa perhatian pekerjaan sosial). Kebijakan pemerintah lainnya ialah mengembangkan kebijakan untuk meingkatkan kualitas pegawai. Yang dimana kebijakan ini diterapkan dalam program pelatihan kerja serta kartu prakerja, dan sebanyak 10% pekerja disabilitas mengikuti program ini.
Rintangan-rintangan Bagi Pekerja Disabilitas Dalam Lingkungan Kerja
Isu disabilitas ditangani dengan sektoral ; Penanganan isu ini seharusnya dilakukan secara lintas kementrian/ lembaga, namun pada praktiknya isu ini justru dilakukan secara sektoral. Dimana penyandang disabilitas ini termasuk ke dalam orang dalam masalah sosial. Di Indonesia sendiri, penanganan orang dalam masalah sosial ini belum memadai yang masih terbatas program kesejahteraan seperti bantuan keuangan yang dibatasi.
Pelatihan kerja belum inklusif ; Pekerja disabilitas tidak mengikuti pelatihan kerja. Yang dimana ini merupakan hak mereka dan sudah tertuang dalam pasal 46 Undang-undang No. 8 tahun 2016 yang isinya memberikan peluang bagi para pekerja disabilitas untuk mengikuti program pelatihan kerja. Namun data SAKARNAS pada tahun 2020 menampilkan bahwa sekedar 10% angkatan pekerja disabilitas yang mengikuti pelatihan itu.
Prasarana belum layak ; Pekerja disabilitas perlu berusaha lebih keras karena mengharuskan mereka untuk mengeluarkan biaya lebih banyak untuk mobilitas kerja akibat kurangnya dukungan prasarana. Pilihan transportasi ke tempat kerja belum mengakomodasi seluruh jenis disabilitas, termasuk bus atau angkutan umum.
Catatan
Daerah globalisasi ini, para pekerja disabilitas tidak cuma menghadapi hambatan secara pribadi, perubahan struktur pasar kerja pada era 4.0 juga menjadi tantangan bagi mereka, terlebih lagi kurangnya dukungan dari lingkungan serta keluarga. Maka dari itu pemerintah seharusnya melakukan sebuah program untuk permasalahan ini, seperti mengembangkan pelaporan kuota minimun bagi pekerja disabilitas, dimana kementrian tenaga kerja serta Transmigrasi harus menyusun peraturan berupa mekanisme pelaporan bagi pekerja disabilitas.
Bukan hanya itu saja pemerintah juga harus menyediakan Prasarana yang paling dasar sekali untuk menunjang fasilitas dan mobilitas penyandang disabilitas agar mudah untuk di akses , seharusnya kementrian dan PUPR harus secara berangsur memperbaiki fasilitas umum agar aman dan nyaman digunakan terutama bagi penyandang disabilitas. Dan tak luput juga hal lain yang seharusnya disediakan oleh pemerintah adalah menyediakan pelatihan kerja yang menyeluruh dan konsisten untuk pekerja disabilitas. Yang dimana BLK/BLKK harus menjamin kegiatan ini, apakah berjalan denngan baik atau tidak.
Rujukan
Benedikt G. Mark, Sarah Hofmayer, Edwin Rauch, Dominik T. Matt, (2019). Inclusion of Workers with Disabilities in Production 4.0: Legal Foundations In Europe and Potentials Through Worker Assistance Systems. Sustainability, 11 (21), 5978.
Cameron, L, Suarcz, D. C. (2017). Disability in Indonesia: What can we learn from the data. MonashUniversity, Melbourne.
Perkumpulan Prakarsa, (2020). Penyandang Disabilitas di Tempat Kerja: Kondisi dan Tantangannya di Indonesia sebagai Negara G20. Prakarsa: Jakarta.