Penulis : Ali Al-Fatih
Entah sejak kapan Kampung kita berubah? Kita tak mengingatnya, dan tak merasa bahwa kita sudah bergeser dari suatu masyarakat yang lalu ke masyarakat yang baru. Dari suatu masyarakat yang penuh kolektivitas dalam mengurus ruang hidup bersama, ke masyarakat yang acuh tak acuh. Entah karena apa? Entah karena pergeseran cara pandang, atau hanya karena pergeseran mata pencaharian semata, hingga kita tak butuh hal-hal itu (kolektivitas mengurus kampung) lagi!
Jauh sebelum Dana Desa bergulir di Kampung (menggerogoti sedikit demi sedikit sisi kolektiv warga Desa. Sudut yang lain dari sisi positifnya), sebelum fyp dan adsanse lebih menggairahkan dibandingkan dengan sebatang Singkong, sejumput Kacang Tanah, serambat Timun dan Kacang Panjang. Di Kampung-kampung, penuh dengan kerja-kerja bersam untuk mengurus kebutuhan hidup bersama. Sejak Pos Ronda, Ulu-ulu, Guru Desa, hingga ‘Tukang Nganjingan’ (Kelompok Pengusir Hama/Babi Hutan), lebih utuh fungsinya. Kini, hal terssebut jauh berada dibelakang, mungkin agak terbelakang bagi kebanyakan Orang. Dia, menarik untuk sekedar nostalgia, sekedar romantika untuk kebutuhan retorika (seperti tulisan ini).
“Tim Ahok” : ‘Tukang Nganjingan’ (Kelompok Warga Pemburu Babi Hutan)
Di atas tadi,