Dalam perdebatan mengenai tujuan negara, dua teori yang sering menjadi sorotan adalah Teori Sosialisme dan Teori Empirical Collectivism. Keduanya menekankan pentingnya kolektivitas dalam mengatur kehidupan bernegara, namun memiliki pendekatan yang berbeda dalam mencapai kesejahteraan rakyat.
Negara dalam Perspektif Sosialisme
Teori Sosialisme berakar pada gagasan bahwa negara harus berperan aktif dalam mengatur ekonomi dan kehidupan sosial demi mencapai kesetaraan. Negara tidak boleh membiarkan ekonomi dikendalikan oleh segelintir individu atau korporasi, melainkan harus memastikan distribusi kekayaan yang adil. Dalam konteks ini, tujuan negara adalah menciptakan kesejahteraan sosial melalui kebijakan yang menekan kesenjangan ekonomi dan mengutamakan kepentingan kolektif di atas kepentingan individual.
Di banyak negara yang menerapkan prinsip sosialisme, seperti negara-negara Skandinavia, pemerintah mengambil peran besar dalam penyediaan layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses yang setara terhadap kebutuhan dasar mereka.
Namun, kritik terhadap sosialisme sering kali muncul dari kalangan yang menganggap bahwa intervensi negara yang terlalu besar dapat menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Mereka berargumen bahwa sistem ini berisiko menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah serta mengurangi insentif bagi individu untuk bekerja lebih keras.
Negara dalam Perspektif Empirical Collectivism
Teori Empirical Collectivism, yang lebih berbasis pada pengamatan empiris terhadap sistem sosial, menekankan bahwa kolektivitas bukan sekadar ideologi, tetapi kebutuhan alami dalam kehidupan bermasyarakat. Negara dalam perspektif ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan kolektif berdasarkan realitas sosial yang ada.
Dalam praktiknya, teori ini melihat bahwa masyarakat secara alami membentuk sistem kolektif untuk mencapai tujuan bersama, baik dalam bentuk komunitas, serikat pekerja, maupun organisasi sosial. Negara diharapkan menjadi fasilitator yang mendukung inisiatif kolektif masyarakat tanpa harus sepenuhnya mendominasi seperti dalam sosialisme.
Pendekatan ini dapat kita lihat dalam model negara-negara yang menerapkan keseimbangan antara kapitalisme dan sistem kesejahteraan, seperti Jerman atau Jepang. Negara dalam hal ini tetap memberikan kebebasan bagi pasar, namun juga memastikan ada regulasi dan perlindungan sosial yang cukup untuk mencegah eksploitasi dan ketimpangan yang terlalu besar.
Kesimpulan
Baik Teori Sosialisme maupun Empirical Collectivism sama-sama menegaskan bahwa negara harus berperan dalam mengatur kehidupan sosial demi kesejahteraan bersama. Perbedaannya terletak pada seberapa besar peran negara dalam mengontrol ekonomi dan kehidupan masyarakat.
Di era modern, banyak negara mengadopsi pendekatan yang menggabungkan kedua teori ini. Negara tidak bisa sepenuhnya membiarkan pasar bekerja tanpa regulasi (seperti dalam kapitalisme murni), namun juga tidak bisa terlalu mengekang kebebasan individu dalam berinovasi dan berkembang.
Sebagai bangsa yang memiliki nilai gotong royong, Indonesia dapat mengambil pelajaran dari kedua teori ini untuk memperkuat kebijakan yang berbasis kesejahteraan kolektif, tetapi tetap memberikan ruang bagi inisiatif dan kebebasan individu. Negara harus menjadi alat bagi rakyat, bukan alat bagi segelintir elite, agar cita-cita keadilan sosial benar-benar terwujud.
Oleh: Nabila Bilqist Khoirunnisa (Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia)